Oleh Helmi Y. Haska
“Berita penting: Malaikat surgawi gembira meniup nafiri saat gerson poyk mendapat anugrah usia 77 thn dari Tuhan (16 Juni).” Demikianlah SMS yang saya terima pukul 00:55:17 Wib dari sastrawan Gerson Poyk yang berulangtahun pada 16 Juni. Jauh hari sebelumnya saya bersama teman-teman yang tempo dulu satu sanggar dengan Pak Gerson ingin sekali merayakan hari jadi Sang Guru. Tapi Pak Gerson rupanya mempunyai rencana lain.
Ia ingin terbang ke Surabaya, merayakan hari ulangtahunnya bersama koleganya, dan mungkin saja sambil melakukan tilas ke beberapa tempat dan menyambangi sahabat-sahabatnya. Surabaya, sebagai sebuah kota cukup kuat membentuk kesenimanan seorang Gerson muda ketika masih bersekolah di Sekolah Guru Atas (SGA) di tahun 1950-an. Di Surabaya, ia bertemu secara langsung dengan sastra dan seni melalui lingkar pergaulan seniman muda dan penerbitan sastra, suatu hal yang masih dibayangkan (imagined) si Bea, panggilan Gerson kecil, ketika melahap tulisan-tulisan dari koran dan majalah sastra asuhan HB Jassin yang didapat dari perpustakaan ayahnya yang bertugas sebagai mantri kesehatan di Ruteng, sebuah kota pedalaman yang sejuk di Nusa Tenggara Timur.
Surabaya sebagai kota revolusi mulai merangkak. Gerson takjub ketika melihat kapal uap untuk pertamakalinya, disamping kereta api dan radio dalam kancah api revolusi yang menyemangati warganya. Dariyono melukis realitas masyarakat pada kanvasnya. Tatiek Maliyati berakting dalam panggung teater modern. Amang Rahman sebagai penyair ketika itu mempublikasikan puisi-puisinya pada lembar sastra media massa, kelak sohor sebagai pelukis surealis. Gerson Poyk menulis sajak dan cerita pendek yang dipublikasikan Mimbar Indonesia asuhan HB Jassin, yang langsung menempatkannya sebagai pesohor dalam pergaulan seniman. Amang Rahman seringkali menjemputnya malam-malam secara diam-diam di depan mess guru, untuk mengajaknya kongkow-kongkow di warung-warung bersama para seniman. Di warung-warung itu mereka berdiskusi sastra, disamping melihat gunia malam hari masyarakat underdog, yang kelak muncul dalam tokoh-tokoh cerita pendeknya.
Pada akhirnya sastra dan seni membetot perhatian Gerson habis-habisan, dengan berkarya sekaligus membentuk peer group. Ia mengasah kepengerajinan (craftsmanship) dalam dunia tulis menulis, disamping mengenali dan membentuk seni moder, dengan menerbitkan berkala sastra, pameran lukisan dan festival teater modern. Bisa dibilang lingkar pergaulan seniman muda ketika itu sebagai pemula yang menancapkan patok seni modern di Surabaya yang berkelindan dengan kehidupan warga Surabaya yang dinamis dan egaliter. Surabaya pula yang membentuk Gerson Poyk sebagai pribadi yang dinamis dan egaliter.
Selamat ulangtahun Pak Gerson!
Kamis, 19 Juni 2008
Langganan:
Postingan (Atom)