Kamis, 19 Juni 2008
77 tahun GERSON POYK
“Berita penting: Malaikat surgawi gembira meniup nafiri saat gerson poyk mendapat anugrah usia 77 thn dari Tuhan (16 Juni).” Demikianlah SMS yang saya terima pukul 00:55:17 Wib dari sastrawan Gerson Poyk yang berulangtahun pada 16 Juni. Jauh hari sebelumnya saya bersama teman-teman yang tempo dulu satu sanggar dengan Pak Gerson ingin sekali merayakan hari jadi Sang Guru. Tapi Pak Gerson rupanya mempunyai rencana lain.
Ia ingin terbang ke Surabaya, merayakan hari ulangtahunnya bersama koleganya, dan mungkin saja sambil melakukan tilas ke beberapa tempat dan menyambangi sahabat-sahabatnya. Surabaya, sebagai sebuah kota cukup kuat membentuk kesenimanan seorang Gerson muda ketika masih bersekolah di Sekolah Guru Atas (SGA) di tahun 1950-an. Di Surabaya, ia bertemu secara langsung dengan sastra dan seni melalui lingkar pergaulan seniman muda dan penerbitan sastra, suatu hal yang masih dibayangkan (imagined) si Bea, panggilan Gerson kecil, ketika melahap tulisan-tulisan dari koran dan majalah sastra asuhan HB Jassin yang didapat dari perpustakaan ayahnya yang bertugas sebagai mantri kesehatan di Ruteng, sebuah kota pedalaman yang sejuk di Nusa Tenggara Timur.
Surabaya sebagai kota revolusi mulai merangkak. Gerson takjub ketika melihat kapal uap untuk pertamakalinya, disamping kereta api dan radio dalam kancah api revolusi yang menyemangati warganya. Dariyono melukis realitas masyarakat pada kanvasnya. Tatiek Maliyati berakting dalam panggung teater modern. Amang Rahman sebagai penyair ketika itu mempublikasikan puisi-puisinya pada lembar sastra media massa, kelak sohor sebagai pelukis surealis. Gerson Poyk menulis sajak dan cerita pendek yang dipublikasikan Mimbar Indonesia asuhan HB Jassin, yang langsung menempatkannya sebagai pesohor dalam pergaulan seniman. Amang Rahman seringkali menjemputnya malam-malam secara diam-diam di depan mess guru, untuk mengajaknya kongkow-kongkow di warung-warung bersama para seniman. Di warung-warung itu mereka berdiskusi sastra, disamping melihat gunia malam hari masyarakat underdog, yang kelak muncul dalam tokoh-tokoh cerita pendeknya.
Pada akhirnya sastra dan seni membetot perhatian Gerson habis-habisan, dengan berkarya sekaligus membentuk peer group. Ia mengasah kepengerajinan (craftsmanship) dalam dunia tulis menulis, disamping mengenali dan membentuk seni moder, dengan menerbitkan berkala sastra, pameran lukisan dan festival teater modern. Bisa dibilang lingkar pergaulan seniman muda ketika itu sebagai pemula yang menancapkan patok seni modern di Surabaya yang berkelindan dengan kehidupan warga Surabaya yang dinamis dan egaliter. Surabaya pula yang membentuk Gerson Poyk sebagai pribadi yang dinamis dan egaliter.
Selamat ulangtahun Pak Gerson!
Minggu, 27 April 2008
MENGENANG SASTRAWAN A.A. NAVIS
Sejak akhir masa Presiden Sukarno dan masa Presiden Suharto sampai hari ini, Indonesia telah kehilangan beberapa sastrawan, seperti J.E.Tatengkeng, Anak Agung Panji Tisna, Idrus, Takdir Alisyahbana, Iwan Simatupang, Nugroho Notosusanto, H.B.Jassin, Trisnoyuwono, Muhamad Ali, Kirjomulyo, Chairul Harun, Satyagraha Hoerip, dan Motinggo Boesye.
Manusia memang fana tetapi seninya tetap hidup di tengah kehidupan bangsanya dan kehidupan umat manusia. Para sastrawan Indonesia yang telah pergi maupun yang masih hidup adalah tonggak budaya personal sedangkan karya mereka adalah budaya spiritual
Beberapa hari yang lalu, media massa nasional memberitakan kepulangan A.A.Navis kepangkuan Tuhan Yang Maha Esa. Yakinlah bahwa Sang Pencipta Agung tidak akan menyia-nyiakan arwahnya, arwah seorang sastrawan yang telah diciptakanNya sebagai tonggak budaya personal yang selama hidupnya telah menciptakan budaya spiritual yang disebut sastra Indonesia – yang menjadi bagian dari sastra dunia.
Ars tonga (longa – Red.) vita brevis. (Seni berumur panjang, hidup manusia pendek – Red.). Sesaat setelah mengetahui kepulangannya, saya mengumpulkan sejumlah antologi sastra dalam negeri maupun antologi mancanegara dari perpustakaan pribadi. Sastrawan Ali Akbar Navis selalu ikut serta dalam antologi-antologi itu. Ia cukup diperhitungkan dalam sejarah sastra Indonesia maupun studi kesusastraaan oleh pakar-pakar asing sehingga setiap ada antologi dalam bahasa asing karya-karyanya diikutkan. Dengan demikian karyanya tersebar di dunia berbahasa Inggris dan sebagainya, di samping bahasa Indonesia, Malaysia dan Brunai. Dalam antologi raksasa berbahasa Inggris (709 halaman), dikatakan bahwa A.A.Navis, sastrawan peraih hadiah sastra bergengsi di Asia, Sea Write Award 1974, telah mempunyai dua kumpulan cerpen, yaitu The Downfall of Our Surau (1957), Hujan Panas (1962) dan Bianglala (1963). Sebenarnya cerpen yang belum dibukukan masih banyak lagi. Novelnya adalah Kemarau (1975), The Lonely Girl (1970). Di samping cerpennya yang cukup banyak, esei, artikelnya, paper dan makalahnya bertumpuk di lemarinya, menunggu ada kemauan politik dan industri penerbitan kita untuk memperkaya budaya spiritual bangsa dalam bentuk buku.
Saya tidak terlalu dekat dengan almarhum seperti halnya kedekatan saya dengan Trisnoyuwono yang maha nyentrik itu, atau Boesye, Oyik (Satyagraha Hoerip) dan Chairul Harun karena gaya hidup Navis agak ”aristokrat” seperti Asrul Sani dan Nugroho Notosusanto misalnya yang selalu tampak bersih, tidak slebor dan haram untuk tidur di sembarang tempat, terutama di Balai Budaya dan juga haram untuk makan di mana saja, di rumah teman atau di warteg.
Selain itu hanya sastrawan yang tinggal di Padang, Pekan Baru, Makassar dan Medan yang selalu muncul di Jakarta dengan menumpang pesawat terbang, kapal laut atau jalan darat. Selebihnya tidak mampu. Sastrawan Navis selalu muncul di Jakarta mungkin untuk urusan dinas dan ceramah di TIM. Akan tetapi saya selalu mencatat di mana ada sastrawan di kota-kota di Indonesia ini. Soalnya sebagai seorang wartawan freelance yang ketika itu lagi gila-gilanya mengembara di semua provinsi di negeri ini perlu tempat menggeletakkan badan di tikar mereka ketika kelelahan, lapar dan sakit. Di kota-kota yang ada sastrawannya, pasti rumahnya akan saya jadikan hotel prodeo. Ketika mengembara dari Banda Aceh, lewat Sumatera Utara menembus ke Padang, Sumatera Barat, saya jatuh sakit dalam perjalanan. Panas dingin, batuk pilek. Di benak saya rumah Navis akan saya jadikan rumah sakit sekaligus rumah makan karena di kantong hanya tinggal beberapa sen untuk membeli aspirin. Dibuang oleh bus di terminal, saya tertatih-tatih ke Pusat Budaya Padang menanyakan rumah Navis. Ternyata sastrawan kita ada di Jakarta. Untung saya bertamu dengan Chairul Harun sastrawan dan budayawan Minang, teman lama sejak bermanikebu di Jakarta dulu. Setelah panas badan turun pengembaraan di Pulau Sumatera diteruskan.
Di Jakarta, pada suatu malam. Ketika saya makan malam di warung tenda di depan TIM bersama Sutarji dan Ikranegara, di pojok sana duduk sastrawan Navis menikmati makan malamnya. Kami bertiga makan dan minum bir sejadi-jadinya. Makin lama Ikra dan Sutarji makin berceloteh, tertawa tergelak-gelak. Rupanya saya sedang menderita stres berat karena masalah rumah tangga sehingga bermalam-malam saya mengembara dari kaki lima ke kaki lima, dari stasiun ke stasiun, menggeletak di mana saja kalau sudah ngantuk. Setiap malam minum TKW putih, bir dan wiski. Rupanya alkohol (etil dan metil) segala telah til-til mengental menggerogoti otak saya sehingga cepat tersinggung, marah dan pemberani tak takut mati. Preman-preman saya ajak begadang minum TKW lalu meminta mereka adu panco. Ternyata otot saya lebih kuat sehingga mereka segan seakan menunggu waktu saya diangkat menjadi kepala preman. Ketika keduanya ribut saya masih tenang tetapi ketika Tarji menghamburkan kata tak tak tak dan biawak, saya tersinggung lalu mengambil botol bir dan memecahkannya di meja. Semua diam, membelalak. Tarji dan Ikra pergi setelah Navis membayar semua makanan dan minuman kami.
”Maaf, Bang, ” kata saya.
”Tarji dekaden, tapi Anda tak dapat menahan diri. Kalau pecahan botol kena mata orang…”
”Maaf Bang, maaf,” kata saya.
Untung saya segera sadar dan mencari Tarji untuk minta maaf.
Adegan itu tertera dalam buku biografi A.A Navis yang ditulis oleh Abrar Yusra. Hanya saja, dalam buku biografi Navis itu saya disebut alkoholik. Sebenarnya tidak sama sekali. Ketika badai krisis rumah tangga berlalu saya berhenti minum minuman haram itu. Bertobat, ceritanya. Mesin tik saya lalu berdetak-detik, tik tik tik setiap malam, buku-buku kembali dibuka, dibaca, dicoret sana sini. Siang malam membaca, mengarang mencari honor untuk membiayai kuliah anak-anak sehingga menjadi sarjana, wartawati dan dosen.
* * *
Ketika A.A.Navis menjadi direktur INS Kayutanam, sebenarnya tersedia jalan terbuka untuk membebaskan negeri ini dari pengangguran, urbanisasi dan utang yang menggunung. Lembaga pendidikan ini berseru sesuai dengan satu kalimat dari puisi Sitor. ”Anak, jadilah tukang”. Seruan atau imbauan ini sangat inspiratif bagi usaha penanggulangan pengangguran dan urbanisasi. Sayang, ketika membaca lifletnya, tampaknya lembaga ini dibawa ke pendidikan formal yang begitu banyak menelurkan penganggur di negeri ini.
Diharapkan suatu sayap pendidikan non-formal yang produktif dan kreatif dari lembaga ini dengan tamatannya yang membawa alat pertukangan dan teknologi tepat guna termasuk komputer dengan internetnya ke lembah-lembah sepanjang trans Sumatra untuk membuat desa-desa seni-budaya dan pariwisata yang subsisten di bidang pangan dan sandang serta pengobatan tradisional dari tumbuhan hutan dan tanaman. Dengan demikian, Navis dapat dikatakan sebagai bukan saja berbakti kepada keindahan lewat sastra tetapi juga telah merintis usaha mengatasi kemiskinan dan penderitaan melalui lembaga pendidikan yang dipimpinnya. Semoga perjalanannya dilanjutkan oleh generasi muda. **
Sabtu, 26 April 2008
Komentar tentang Novel SANG GURU (2)
Pertama kali aku melihat namanya, serasa tiada asing di mata maupun telingaku. Gerson Poyk, entah di mana aku pernah melihat maupun mendengar namanya. Yang aku tahu, dia memang salah satu orang besar.
Pertemuanku secara langsung dengannya sesungguhnyalah baru dalam hitungan hari, meski aku bertemu dengannya sekitar satu atau dua bulan lalu. Namun, gaya bertuturnya sungguh membuatku kagum. Memang ketika pertama menikmati sajiannya itu, sulit rasaku untuk menangkap perkataannya. Perasaan yang rasanya wajar juga mengingat aku mendengar celotehannya itu di tengah hiruk-pikuk kereta api dan rasa kantuk yang menderu.Ketika sampai pada satu bagian, tanpa sadar mataku sudah mulai merem-melek. Dan aku pun tidak ingat lagi apa yang baru saja disampaikan olehnya. Ketika hendak kembali ke posisi semula, aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Buyar sudah karena kelelahan. Maklumlah, kalau main ke Yogya, aku suka tidak peduli stamina. Apalagi ketika memutuskan pulang siang hari. Kalau pun dapat tempat duduk, sudah pasti akan kepanasan juga karena ada banyak orang yang berdiri di mana-mana. Dan kalau kepanasan, entah mengapa aku pun bisa mudah mengantuk pula.
Demikianlah akhirnya, aku berusaha mengenalnya lebih baik lagi malam itu. Cukup lama aku menikmati penuturannya. Aku tidak bisa berlama-lama dalam kondisi tersebut. Bukan, bukan karena aku tiada senang. Sungguh aku sangat senang mendengarkan cerita dari seorang yang bisa disebut sesepuh.
Aku jadi ingat perbincanganku dengan seorang majelis di gerejaku. Atau ketika aku berkesempatan menyita waktu pendetaku yang memang berwawasan luas itu. Meski keduanya berbeda usia, namun aku bisa melihat pengalaman hidup yang membentang luas dari tatapan keduanya.
Majelis tersebut, sama sekali tiada kukira sebelumnya, dia ternyata salah seorang yang berperan penting di sekitar istana negara. Ia berkisah bagaimana ia berkali-kali menjadi protokoler. Ia juga berkali-kali menerima tamu-tamu negara, bagaimana ia bergaul dengan mereka, dengan para gubernur, dengan para walikota, dengan pejabat-pejabat penting, para jenderal termasuk pula. Ia juga bertutur bagaimana para pejabat asing berkali-kali menawarinya untuk cuti ke Inggris, atau ke Belgia, atau ke mana, tergantung asal negara duta besar yang menawarinya. Tapi tentu saja ia tidak hendak dianggap memanfaatkan keadaan dan posisinya itu.
Atau bagaimana pendetaku berkisah tentang Kierkegaard, tentang Michel Foucoult, atau tentang Heidegger. Sambil mengepulkan asap rokoknya yang entah sudah kelima atau keenam batang itu, ia tidak segan menyodorkan berbagai buku berharga yang ia kumpulkan selagi studi di Yogyakarta. Dari sana pulalah aku berkenalan dengan Analisis Wacananya Eriyanto, termasuk Analisis Framing dan Analisis Semiotika. Sembari beberapa kali nyora, begitu kami biasa menyebut istri pendeta, menyodorkan sajian berupa kue-kue dan es setrup, yang membuatku layaknya tamu penting, pembicaraan terus berlanjut.
Meski sesekali aku merasa topik pembicaraan cenderung terlalu tinggi buatku yang masih sangat cetek ilmu ini, aku seakan tersedot oleh pesona mereka yang sudah sesepuh di bidang ilmu itu. Bagai terhipnotis, aku tidak bisa pamit dan tidak mau pamit. Meski sesekali harus megap-megap karena asap, aku bergeming, menantikan kisah-kisah dan pelajaran lain dari mereka.
Begitu pulalah ketika aku berhadapan dengan Gerson Poyk. Aku sungguh menikmati pertemuan kami. Terutama lewat gaya bertuturnya yang ternyata sangat enak itu, berbeda jauh dengan apa yang kurasakan ketika mendengarnya di kereta api yang ribut, panas, dan penuh sesak itu. Dan karena kali ini suasana jauh lebih santai, jauh lebih tenang, jauh dari hingar-bingar itu, juga jauh lebih sejuk, meski belakangan angin tambah sering menderu, yang malah mulai membawa hujan kembali ke kota kecil ini di saat semestinya musim kemarau menyapa, di tengah kondisi yang demikian itulah aku bisa menikmati kisahnya.
Sungguh aku sangat menikmati kisahnya tentang seorang guru yang kelahiran Pulau Rote itu. Ia berkisah bagaimana guru tersebut, sebelum ke Ternate sempat pula ke Singapura dan Hongkong, tanpa membayar, malah dibayar pula. Guru dalam kisahnya ini merupakan seorang pria yang sangat mencintai ibunya. Bersama ibunya pulalah ia pergi ke Ternate, mengabdikan dirinya sebagai seorang guru.
Dalam kisahnya itu, ada pula disinggung seorang bernama Ismail. Ia merupakan seorang buruh kasar pelabuhan yang ternyata juga menjadi pesuruh di sekolah tempat sang guru ini mengajar. Juga mengelola sebuah warung makan tak jauh dari sekolah. Pak Ismail ini ternyata selalu membantu guru-guru sekolah. Ia tidak segan meminjami uang atau malah membiarkan guru-guru ngebon kepadanya. Ia tahu kalau gaji guru-guru di tempat terpencil itu suka terlambat. Sehingga dengan meminjami atau memberi kas bon bagi para guru, ia merasa bisa membantu meringankan beban mereka. Mungkin karena ia pun sesungguhnya seorang buruh kasar. Kalau para penumpang dari pelabuhan tidak membawa banyak barang, ia pun tidak mendapat uang pula. Jadi, tahu sama tahulah.
Kesamaan nasiblah yang sering membuat orang saling bantu. Dulu, para pendahulu kita juga bertindak demikian. Ketika Belanda tengah berkuasa di sini, bukankah para pendahulu bangsa ini juga bersatu padu melawan penindasan? Sampai akhirnya negeri Indonesia ini bisa berdiri dan diakui di mata dunia? Meski sekarang keadaannya mungkin sebaliknya, diakui sebagai negara yang sakit sehingga perlu dirawat? Lalu, bukankah kerusuhan 1998 di daerah-daerah juga turut menyatupadukan masyarakat sekitar? Karena kuingat masa itu, papaku turut jaga malam, suatu kegiatan yang tidak pernah diadakan secara rutin sejak pertama kali aku menapakkan kaki di lingkungan tersebut. Kuingat pula, peristiwa itu membuat para penghuni kompleks kami itu jadi saling kenal, saling traktir, dan tertawa bersama.
Maka tidak mengherankan pula kalau penderitaan yang dialami seseorang bisa membuat orang lain mengerti penderitaan yang dialami sesamanya manusia. Sehingga ketika yang satu sedikit menuai sukacita, tiada segan pulalah ia membantu sesamanya yang kesulitan.
Begitulah kira-kira yang bisa kupelajari dari kisah Gerson Poyk itu. Aku masih hendak menantikan kisah lanjutan darinya tentang kehidupan guru tersebut. Kuharap aku bisa bertemu lagi dengannya dalam waktu dekat ini. Itu pun dengan catatan, aku tidak keburu tewas dibunuh keseharianku yang belakangan mulai menderu menyiksaku hingga ke alam mimpi.
Kata Pengantar Antologi Puisi KEBERANGKATAN
Esai Gerson Poyk ini membicarakan puisi-puisi karya enam penyair : Ahmad Suyudi Omar, Bagus Pramudya, Be Saptajie, Mer Magdal, Sihar Ramses Simatupang, dan Tata Surya. Keenam penyair pernah dan bahkan kerap bertandang ke rumah Gerson Poyk.
Pada suatu hari datang beberapa penyair ke rumah saya di Depok, mengantarkan kumpulan puisi yang berjudul Keberangkatan. Mereka meminta saya membuat kata pengantar untuk kumpulan puisi tersebut. Hati kecil saya berkata sendiri, di saat bangsa ini dicengkeram kerakusan dan kekuasaan, masih ada anak-anak muda bangsa ini yang peduli kepada kehidupan batin, kepada puisi.
Kepada seorang penyair yang datang sendiri beberapa hari kemudian untuk ngobrol mengenai seni dan puisi, saya mulai memperkenalkan kepadanya buku Jacques Maritain berjudul Crative Intitution in Art and Poetry (Meridian Books, New ork 1995).
Puisi di dalam bahasa Indonesia diambil dari kata poetry dalam bahasa Inggris. Orang sering menggunakan kata puisi (poetry) untuk menunjukkan karya seni yang dalam bahasa Inggris disebut poem. Dalam acara poetry reading (pembacaan puisi), misalnya, pengertian kita adalah pembacaan sajak (poem). Akan tetapi menurut Maritain, poetry adalah energi spiritual atau nama lainnya yang oleh Plato disebut mousike. Jadi, poetry adalah kehidupan (atau nyanyian) batin seseorang yang sesuai dengan pepatah Indonesia, dalam laut dapat diduga, tapi dalam hati siapa tahu.
Tetapi poetry atau energi spiritual itu dapat mendorong terciptanya seni (poem, lukisan, patung, lagu, teater, atau tarian). Jadi, poetry lebih mendasar, poses interkomunikasi inner being of thins (kehidupan yang lebih dalam dari benda-benda) dan inner being of human self (kehidupan yang lebih dalam dari diri manusia).
Sesungguhnya putra-putri mousike (poetry), yaitu para penyair dan pencipta (creator), dapat menjadi craftsmen (teknisi, tukang, pengrajin) yang sempurna. Dan putra-putri techne, yaitu para berpendidikan (men of letters) atau para profesional, dapat juga menjadi craftsmen yang buruk. Untuk menjadi yang terakhir ini dapat dilakukan melalui latihan dan disiplin. Tidak perlu terlalu mengandalkan intuisi puitis (intuisi kreatif). Sebaliknya, intuisi puitis tidak dapat dipelajari dan diperbaiki melalui latihan karena intuisi puitis tergantung pada kemerdekaan alami tertentu dalam jiwa manusia dan alur imajinasi serta kekuatan intelek alamiah.
Tuntutan intuisi puisi hanya untuk didengarkan. Penyair hanya berusaha untuk memindahkan halangan dan keributan. Penyair memerlukan disiplin serius untuk tidak mengkhianati intuisi puitisnya. Penyair memerlukan pengorbanan untuk menaruh segala sesuatu pada peringkat kedua. Peringkat pertama adalah intuisi kreatif atau intuisi puitis itu sendiri. Jalan yang ditempuh oleh intuisi kreatif adalah jalan yang pasti dan sunyi, jalan menuju negeri tak dikenal melalui jembatan-jembatan penderitaan batin.
Para seniman lebih senang dengan penemuan-penemuan teknis. Segera setelah intuisi puitis memasuki ruang operasional, ia pun memasuki ruang kesenian, tetapi bagaimanapun ia tetap bebas. Ia tidak menaati peraturan, tetapi peraturan menaati intuisi kreatif (puitis) itu, seperti halnya remote control televisi. Intuisi puitis (kreatif) dapat bermain ke bidang luar sastra, misalnya bidang ilmu pengetahuan, filsafat, bisnis, revolusi, dan agama. Intuisi puitis terlibat di dalam karya para pakar matematika besar. Saudara kembar dari sang Takut yang bernama Thommas Hobbes mendapat pelajaran dari intuisi puitis. Begitu pula Plato, Aristoteles, Plotinus, Hegel, Columbus, Einstein, Gandhi, dan lain-lain.
Pengalaman puitik adalah segi lain dari jiwa kita, segi yang lebih kompleks dan memiliki arti psikologis. Ini mengacu kepada keadaan tertentu dari jiwa kita ketika self communion membuat lalulintas pikiran kita berhenti sebentar dari intensnya intuisi puitis. Di saat demikian inilah seorang filsuf harus mengikuti kesaksian sang Penyair, memasuki dunia yang mendiamkan semua konsep dan terapung dalam kenangan berderai sampai jauh (ingat ”Derai-derai Cemara”-nya Chairil). Dengan kata lain, pengalaman puitis berkembang di tepian alam prasadar spiritual yang obskur dan tak terekspresikan. Semua energi batin terkonsenstrasi secara damai, tenang, tanpa ketegangan. Pengalaman puitis terdiri dari dua fase. Fase pertama adalah systole dan kedua adalah diastole. Semuanya ada di sana, terjadi serentak dalam tubuh pengalaman puitis.
Poetic sense (citarasa puitis) dalam karya (poem) berhubungan dengan pengalaman puitis dalam diri si Penyair. Citarasa puitis dalam sebuah karya (poem, sajak) adalah jiwa dari karya itu. Yang perlu dicatat adalah bahwa citarasa puitis dalam sebuah sajak tidak bisa dipisahkan dari benuk verbal yang hidup di dalam dirinya, hidup dalam jaringan atau rumpun kata-kata yang terpilih. Kata-kata yang bukan hanya tanda dari konsep-konsep atau ide-ide, melainkan juga rumpun kata yang hidup dalam kualitas kemerduan bunyi (melodius). Fungsi rumpun kata sebagai tanda-tanda (sign) dalam interrelasi mutualnya tergantung pada waktu yang sama pada kemerduan fisik ini – dan waktu yang sama pula pada citra-citra yang dikandungnya.
Juga, pada waktu yang sama tergantung pada kabut atau aura dari asosiasi-asosiasi yang tidak terekspresikan yang dibawa oleh kata-kata itu sendiri. Sudah tentu tergantung juga pada arti logis yang tergantung dalam kata-kata (yang hanya sebagian dari keseluruhan arti dari sebuah sajak).
Jadi, sebuah sajak (poem) atau puisi dalam arti bentuk seni) memiliki arti rasional, arti imajinal, arti misterius, dan kemerduan bunyi. Maka ada sajak (puisi) jelas (logic, clear) seperti pada pantun (puisi klasik) dan ada pula sajak-sajak moderen yang obskur atau nokturnal. Begitulah, maka yang disebut poetic sense adalah inner melody sebuah sajak (poem).
Sajak-sajak Ahmad Suyudi Omar pada umumnya jelas (clear). Ada beberapa metafor yang tersebar, dislokasi arti kata yang masih bisa diraih nalar. Personifikasi dan alusi kepada kitab suci agamanya jelas sehingga tampak situasi absurd yang melanda kehidupan Nabi Ibrahim dan Nabi Ayub diatasi dengan membentangkan permadani kesabaran yang terbang menuju loncatan iman.
Mer Magdal muncul dengan sajak-sajak jelas. Mengenai situasi pelanggaran hukum dan usaha mendaki gunung terjal tinggi. Usaha untuk mengatasinya masih merupakan perjalanan jauh, setelah darah mengalir seperti air dan peluru bersarang di tubuh anak bangsa. Yang menarik adalah kesadaran bahwa perjalanan masih panjang. Ini adalah setengah dari perjalanan itu sendiri, tetapi tiba-tiba timbul bayangan keinginan untuk hujamkan sebilah belati ke dasar hati. Ini adalah haknya, karena ada segi inhuman dalam diri manusia menghadapi absurd wall dalam kehidupan. Suicide atau murder selalu tersedia dalam menghadapi kendala absurditas (kontradiksi dan kemustahilan). Di samping tentu saja jalan tengah (moderation) yang menegakkan sikap mempertahankan hidup. Menolak kekerasan dan pembunuhan.
Bagus Pramudya bertanya dalam untaian kata-kata yang jelas, apakah hidup tak lagi jenaka/hingga tak kau cerna/untuk apa kita lahir ke dunia. Sajak-sajaknya bernada alusif keagamaan manakala ia berhadapan dengan kuburan, jenasah, dan bunga kamboja di kampung halamannya. Kematian adalah duka-bahagia/menjelang/tak mungkin ditawar. Kematian adalah absurd. Artinya, ada kontradiksi duka dan bahagia, ada kemustahilan (tak mungkin ditawar). Dengan demikian, maka, walau sajak-sajaknya jelas dan logis, tetapi logika yang dipakai adalah logika analogis untuk beruusan dengan sesuatu di lua pengalaman. Ia bukan berurusan dengan silogisme, melainkan berkutat dengan logika estetis. Sudut hatinya bernyanyi melalui dislokasi arti untuk mencapai arti imajinal dalam hati yang berbisik pada sepi/mungkinkah dalam yang kecewa/akan mencari rembulan/sementara pekat makin tak bertepi/sia-sia engkau menjerat matahari.
Be Saptajie berhadapan dengan kebutuhan dialog inpersonal (lawan dari percakapan pokrol-pokrolan yang intermanipulatif). Hanya satu telinga yang diberikan oleh lawan bicara. Telinga yang lain diberikan kepada kesibukan lain. Ini sangat menyakiti hati sang penyair. Metafor yang dipakai penyair jelas. Penyair mengalami disintegrasi cinta. Cinta bukan lagi membebaskan/tetapi lebih menempatkan diriku/seperti pengemis/di depan gerbang kuil kasih sayang/tanganku terus tengadah/karena kosong dari keping-kepingnya.
Disitegrasi cinta itu membuat sang penyair.. mempersiapkan kematian/setelah kegagalan di hari kemarin/dan kebutuhan untuk hari esok berupa mengarungi dan menyelami laut yang sama tetapi ketika kembali ke darat ternyata yang tersedia adalah definisi berbeda tentang lautan/...tidak lagi bisa mengalir/tidak lagi menjadi pohon subur/...tidak lagi menghasilkan buah/selesailah aku/yang hidup tidak dalam kehidupan/dan tidak mati/namun ada dalam kematian.
Akhirnya sang penyair kembali. Wahai yang menemaniku/ditepian sungai kautsar miliknya/dan sesaat menghilang/di awal kelahiranku/kembalilah/sebab suara takdir telah berseru. Bagi kita untuk bersama lagi.
Tampaklah alusi keagamaan menyelesaikan disintegrasi cinta. Lagi-lagi terjadi loncatan iman dalam kiamat cinta di sebuah menara gading.
”Elegi Belatung”, sajak-sajak Tata Surya bermain dengan kemerduan bunyi dan irama. Jiwa sajak ini pun tentulah bernyanyi. Dengan kata lain, sajak ini memiliki inner melody walau yang terasa adalah sejenis melodrama belatung yang mengais, karan, membusuk. Sang belatung mati.
Intuisi puitis atau intuisi kreatif yang hanya bersemayam dalam jiwa manusia, yang tidak berbentuk seni itu saling bercinta dengan keindahan dalam proses dinamis kreatifnya. Intuisi puitis itu bebas, merdeka, dan dalam konsisi tanpa bentuk seni. Bagaikan pelari, ia berlari sambil menghirup udara keindahan, sehingga keindahan itu pun tidak punya tujuan ke arah bentuk seni. Tujuan keindahan selalu berada di balik tujuan, sedang intuisi puitis walau berada di malam spiritual prakonseptual, mendorong terjadinya bentuk seni, mendorong penciptaan, hingga ia disebut juga intuisi kreatif.
Ia memancarkan dimensi akal, dimensi perasaan, dimensi kebinatangan (nafsu seks, nafsu kuas, dan kecenderungan gelap gulita). Keindahan mengikuti semua ini secara co-equal atau co-natural sehingga tidak jarang sebuah pesawat yang menabrak pencakar langit tampak indah. Sebuah peluru kendali yang dimuncratkan dari kapal peran menuju sasarannya di Afganistan pun tampak cantik di udara. Itu terjadi kalau konfigurasi hawa nafsu muncul dari lubuk jiwa manusia. Bisa terjadi konfigurasi moral di mana akal sehat dan perasaan manusia mencuat.
Demikianlah kurang lebih apa yang saya tangkap dari Maritain. Karena intuisi puitis itu berada di sana, di malam prasadar jiwa, tidak berbentuk, maka hal ini mengingatkan saya pada kategori kemerdekaannya Immanuel Kant, berupa moral, Tuhan, dan keabadian di seberang ajal. Kelompok kategori kemerdekaan ini lain dengan kategori kuantitas, kualitas, relasi, dan modalitas. Kategori kemerdekaan (Tuiahan, kemerdekaan, dan keabadian di balik ajal) adalah di luar pengalaman. Tuhan tidak bisa diproduksi di laboratorium dan pabrik. Bahkan akal manusia terbatas walaupun laboratorium. Di ujung pengetahuan kita yang terbatas tentang listrik dan atom, datanglah puisi. Logika rasional diganti dengan logika analogis, misalnya, Tuhan adalah benteng yang melindungi dari musuh.
Tata Surya menganalogikan kesunyian dan ketabahan sebagai istrinya. Di samping itu, dia memusatkan diri pada kefanaan, pada proses pembusukan. Namun dengan sebuah puisi ia mengabadikan kefanaan itu. Suatu kontradiksi unik yang mengatakan bahwa seniman adalah manusia yang sibuk dengan stop moving, tetapi mencerminkan gerakan ke arah akhir kehidupan, yaitu pembusukan. Namun tetap juga mencerminkan loncatan ke akherat yang entah di mana dan bagaimana detailnya, hanya umum dikenal sebagai surga dan neraka.
Sajak-sajak Sihar Ramses Simatupang penuh dengan dislokasi arti perangsang imajinasi. Arti imajinal, arti misterius, dan arti rasional mengental dalam adonan kata-kata yang penuh dengan inner melody (dengan poetic sense atau citarasa puitis). Mata nalar bisa saja dikatupkan lalu kita dibawa oleh proses interrelasi, citra-citra prakonseptual, alam semesta imajinal-emosional, denyut intuisi musikal. Pendeknya dibawa ke lubuk intuisi kreatif, ke malam prakonseptual. Lalu yang dilihat adalah bulan yang mendaki pelan-pelan.
Depok, Oktober 2001
KUDA LUMPING
Rumah makan Papacili didatangi seorang anak berusia empat belas tahun yang hanya memakai celana tanpa baju.
"Mau makan, Nak?" tanya Papacili.
"Mau, Pak, tapi tidak punya uang."
"Siapa namamu?"
"Lumping, Pak."
"Tidak punya uang kok masuk warung," kata Papacili.
"Sudah berapa hari tak makan?" tanya Papacili.
"Kemarin pagi, sarapan nasi aking karena lagi paceklik di musim banjir. Jarang ada order menari. Terakhir, kebetulan ada hajatan setelah lama menganggur. Habis sarapan nasi aking, bertukas makan beling. Siang hari nasi aking lagi, dan pepaya matang setengah buah. Sehabis makan siang saya lari dengan pakaian di badan. Tadi malam saya jual baju untuk makan malam lalu tidur di emperan toko."
"Nanti dulu, kau bilang bertugas makan beling? Makan roti beling saudaranya sotomi?"
"Bukan roti Pak. Beling kaca."
"Ah, jangan bohong."
"Betul Pak, saya penari kuda lumping. Bosan makan beling dan kupas sabut kelapa dengan gigi, saya lari. Tentu bos saya sedang mengejar saya. Jangan bilang kalau bos mencari saya di sini, Pak," kata si Lumping.
Papacili menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepala."
"Perutmu tidak berdarah disilet beling?" tanya Papacili.
"Tidak, Pak. Saya kunyah sampai hancur kemudian makan papaya, dan kelapa tua. Kata bos dalam kelapa tua ada obatnya. Itulah yang menyebabkan saya bertahan lama, tidak sakit tidak mati tapi akhirnya capek dan bosan lalu beginilah. Saya lari meninggalkan bos dengan rombongan penari kuda lumpingnya."
"Nama sebenarnya siapa?"
"Lumping. Nama pemberian kakak mantan penari kuda lumping. Karena nama itu saya diterima menjadi penari kuda lumping. Sejak berumur dua belas tahun, berkeliling dari kota ke kota."
"Kau pernah bersekolah?"
"Tamat SD, tidak mampu meneruskan sekolah karena ayah tidak mampu beli sepatu dan pakaian seragam."
Papacili memanggil istrinya. Setelah mendengar cerita si Lumping, hatinya terharu lalu berkata kepada suaminya. "Dia perlu makan, jangan banyak tanya dan bercanda sadis melihat orang susah," istri Papacili memperingatkan kekurangan suaminya.
Papacili memanggil gadis pelayan.
"Tolong sediakan makanan yang banyak."
"Buat siapa, Pak?" tanya pelayan.
"Buat seekor kuda muda belia!"
Si gadis tersenyum, melangkah meninggalkan Papacili. Ia sudah terbiasa dengan candanya Papacili, bosnya.
"E, eh, jangan pergi, ini namanya Kuda Lumping ... hehe!" Perut Papacili bergerak-gerak karena terkekeh. Dia tidak peduli pada teguran istrinya. "Sekarang namamu bertambah menjadi Kuda Lumping, ya."
Sehabis makan si Lumping disuruh duduk sebentar kemudian Papacili bertanya, "Kuda Lumping mau bekerja di warung ini sebagai pesuruh?"
"Mau saja, Pak. Terima kasih banyak, sudah dapat makan dapat kerja pula. Asalkan Bapak jangan suruh saya makan beling, nasi aking dan cabut kulit sabut kelapa tua dengan gigi," pinta si Lumping.
"Beres. Cuma saya mau supaya di warung ini ada kuda lumping naik kuda besi mengantar makanan kotak ke para langganan. Bisa?"
Si Lumping heran, "Kuda besi?"
"Sepeda, maksud saya, ha ha," kata Papacili.
Papacili menyuruh seorang karyawan lelaki yang bertugas melayani fotokopi untuk mengambil sepeda.
"Maaf, Pak. Saya bisa buang air?"
"O, bisa, bisa. Bagus, tapi jangan buang ampas badanmu di WC. Ambil cangkul, larilah ke kebun sayur di belakang, di balik rimbunnya kacang panjang. Bikin lobang di tanah lalu buang air di sana. Sudah itu jangan ditutup dulu sebelum saya periksa, apakah ususmu ke luar bersama beling-beling. Kalau ususnya ke luar, kita segera ke dokter."
Papacili mengantar si Lumping ke kebun sayur yang cukup luas di belakang rumah makan lalu menunjukkan titik di mana akan ke luar beling-beling dan sabut kelapa. Benar, setelah Papacili memeriksa. Ternyata banyak beling dan sabut kelapa! Setelah ampas badannya itu dikuburkan, keduanya kembali lalu Papacili menyuruhnya mandi dan mengganti pakaian baru yang buru-buru disuruh beli oleh seorang karyawan di toko pakaian seberang jalan di depan rumah makan.
Si Lumping memang cerdas dan rajin. Setiap hari ia mencuci piring dan alat masak sampai bersih. Waktu rumah makan tutup tengah malam, ia mengepel lantai dan melap meja kursi, lemari dan sebagainya. Bangun pagi-pagi ia menyiram sayur di kebun. Waktu istri Papacili masak ia menolong mengiris bawang, mencuci sayur, memasak nasi sambil memperhatikan resep makanan yang dibuat Bu Cili. Bu Cili memang juara masak. Makanannya enak sekali.
Suatu hari ketika Bu Cili dan pelayan seniornya sakit, si Lumping yang masak. Hanya saja setiap ada rombongan sirkus monyet dan para banci bermain di depan rumah makan, si Lumping ketakutan, keringat dingin. Ia bersembunyi ke kebun sayur sampai rombongan banci sirkus monyet itu pergi. Hal ini diketahui ketika pada suatu hari, ada rombongan sirkus monyet kecil kurang gisi bermain di depan rumah makan Papacili. Karena bukan rombongan kuda lumping maka Papacili yang sangat sayang binatang menyuruh si Lumping membawa sesisir pisang untuk monyet kurus kering dijajah oleh manusia. Ternyata si Lumping takut pada semua rombongan pertunjukan keliling. Ia hanya melemparkan pisang ke tengah arena lalu berlari ke rumah makan, keringat dingin. Sejak itu kalau ada rombongan sirkus monyet kecil ia lari bersembunyi ke kebun sayur di belakang rumah makan. Papacili membiarkannya.
Rumah makan Papacili makin ramai saja, karena semua karyawannya, termasuk si Lumping sangat merasa bahwa usaha itu adalah milik mereka sendiri. Memang, Papacili orang yang punya insting, kecerdasan dan intuisi dalam usaha kuliner. Kalau ada turis-turis yang datang makan, ia ngobrol dengan mereka dalam bahasa Inggris dan kalau mereka mau membayar. Papacili menolak dengan alasan bahwa mereka adalah tamunya. Benar, beberapa lama kemudian tamu-tamu itu mengirim uang dari negeri mereka, luar negeri nun jauh di sna. Karena rumah makan itu punya sambal cabe atau cili maka ia disebut Papacili.
Melihat si Lumping cepat menangkap bahasa Inggris dari para turis, Papacili menyekolahkannya. Ia masuk SMP Swasta, kemudian SMA, juga swasta dan lulus ujian nasional tetapi si Lumping tak mau mencari kerja lain selain mengembangkan usaha rumah makan Papacili. Papacili dan Mamacili sudah dianggap lebih dari ayah dan ibu kandungnya. Mamacili sangat sayang padanya. Anak angkatnya diajari masak kemudian tugasnya meningkat menjadi kasir.
Akan tetapi suatu malam, si Lumping bertengkar dengan Papacili karena ayah angkatnya itu punya pacar dan ingin berpoligami.
"Papa," kata si Lumping.
"Apa?" tanya Papacili.
"Kasihan, Mama. Dia curhat kepada semua karyawan, termasuk saya," kata si Lumping pada suatu malam larut.
Papacili membentak si Lumping, "Pergi sana, tidur!"
"Mana bisa tidur, Papa, kalau saya sedih memikirkan sejarah perjuangan Mama yang sejak semula mulai dengan menjual nasi bungkus jalan kaki berkeliling."
"Tapi modalnya dari saya. Bukan saja modal tapi ide dan tenaga saya juga termasuk. Saya yang menanam pisang, menanam sawi, terong, cabe, dan sebagainya, mencuci piring, memasak, ngepel, mencuci, menyapu halaman."
"Alangkah indahnya masa-masa itu, Papa, ketika Papa dan Mama sehati, selangkah walaupun uangnya sedikit," kata si Lumping.
Papacili hanya bangun berdiri, melangkah meninggalkan si Lumping.
Beberapa hari kemudian Papacili memanggil Lumping dan berkata, "Dulu kau naik kuda lumping, kemudian kuda besi. Sekarang saya perintahkan kau naik kapal!"
"Kapal apa Papa?" tanya Lumping.
"Kapal Pelni. Seorang saudara sepupu saya, nakhoda kapal Pelni, datang makan di sini dan dia perlu seorang karyawan yang bekerja di atas kapal."
"Sebagai apa, Papa?"
"Sebagai cook, tukang masak."
Begitulah, maka si Lumping naik kapal laut -- kapal Pelni -- tapi kali ini bukan makan beling melainkan makan enak ikan laut setiap hari. Karena ia terlalu sayang kepada Mamacili, ibu angkatnya yang dimadu, maka sering ia ajak naik kapal, berlayar menglipur lara. Setiap ia menerima gaji, ia berikan sebagian kepada ibu angkatnya.
Beberapa tahun kemudian ia pindah kerja ke kapal yang berlayar ke luar negeri. Setelah lima tahun bekerja, ia mengajak kedua orangtuanya berlayar mengarungi samudra. Ketika tiba di Los Angeles mereka diajak makan di sebuah restoran mungil. Mereka terkejut karena membaca Papachili Restaurant.
"Papa, Mama, saya punya saham di restoran ini," kata Lumping. "Menurut para pakar, orang Indonesia rajin tapi tidak pandai, tidak disiplin dan tidak jujur dalam berorganisasi sehingga makanan Indonesia tidak bisa mendunia. Saya buktikan bahwa bukan saja McDonald yang merambah dunia tetapi juga Papachili."
Tiba-tiba manajer restoran muncul. "Haaaa, Papachili, Mamachili," lalu dipeluk dan diciumnya kedua orang tua itu. "Lupa sama saya? Saya makan gratis di Indonesia Papachili bilang tak usah bayar, tak usah bayar, Anda tamu saya. Ingat?"
Papachili memeluk bule manajer itu. "Di mana yang lain?" "Di kota-kota lain di seluruh dunia. Mereka sudah membuka retoran Papachili, makanan Indonesia dengan slogan you are whta you eat."
Di kamar tidur si Lumping di darat dan di kapal terpampang sebuah poster mungil bertulis:
Ketika aku lapar
Papacili Mamacili membriku kenyang
Ketika aku telanjang
Papacili Mamacili membriku sandang
Ketika aku tidur di emper-emper
Papacili Mamacili bri kamar bri kasur
Ketika aku dungu
Papacili Mamacili membriku ilmu
Maka Tuhan akan memberi mereka surga.
(Suara Karya, 4 Agustus 2007)
BERLAYAR KE MIANGAS
Di atas pesawat yang terbang dari Bandara Sukarno-Hatta menuju Manado, tidak ada yang unik. Rasanya biasa-biasa saja. Sebelum transit sebentar di Makassar, penumpang diberi aqua gelas plastik dan sepotong lemper lebih besar sedikit dari ibu jari. Akan tetapi yang menarik adalah tetangga dudukku. Di sebelah kananku jendela dan di sebelah kiriku seorang wanita muda yang memperkenalkan dirinya sebagai dokter gigi. Ah, gigi lagi, gigi lagi, aku benci gigiku, gigiku pernah diperkosa habis-habisan oleh perempuan dokter seperti yang duduk di sebelah kiriku.
dicopy dari : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=164350
Dari Era Soekarno ke Soeharto- Sebuah Esai Kenangan Sastrawan
Tetapi aku tak mau cari perkara. Dari kantor, aku ambil motorku lalu meluncur ke Bandung dan ke Garut, mandi air panas dan meluncur lagi ke Tasik, Ciamis dan Banjar. Di Banjar, ketika duduk lama-lama di sebuah lapak kopi ada polisi yang cemburu karena aku duduk terlalu lama menghadapi pacarnya. Dia membuat aku marah lalu aku bilang bahwa aku sangat menghormati polisi dan kalau Bapak mau berkelahi slahkan buka dulu pakaian polisinya, lalu kita duel di belakang sana.
Polisi itu kemudian ke posnya dan menelpon. "Ada wartawan yang mau pukul saya!" maka datanglah satu mobil mengangkut aku ke kantor mereka. Anehnya komandan mereka memesan makan dan minuman dan ngobrol cukup lama.
Aku bertemu Trees Nio di Washington DC di tahun 1990. Dia bertanya, "Bapak dari departemen mana?" Aku kaget. "O, aku dari departeman pertambangan. Aku menambang emas dengan mesin tik, tik-tik, tik-tik." Kataku dengan muka serius. "Gerson!" katanya.
"Dulu anda tinggi," sambungnya. Seminggu kemudian dia menyusulku kembali ke Tanah Air dalam bentuk jenasah. Terkenanglah aku pada suatu hari kami terbang menembus awan di atas Bandung lalu pesawat seakan menyelam ke dalam loteng gemawan lalu muncul di atas kota. Kami meliput upacara wisuda perwira udara dimana Bung Karno hadir. Di sore hari aku membujuk Trees untuk menghadap komandan, mengatakan bahwa kami tidak membawa pakaian ganti. Komandan menyuruh seorang kolonel membagikan kaos pelatih. Besoknya ada acara terjun payung. Aku berdiri ditengah lapangan.Karena ada kaos pelatihnya, ada tentara yang melaporkan bahwa ada yang jatuh dan cedera di kebun jagung. Aku terpaksa memerintahkan segera angkut dengan ambulans. Lalu aku membuat tulisan tentang suasana penerjunan. Sinar Harapan penuh dengan gambar-gambar yang menarik. Laporan pandangan mata dengan gambar-gambar yang menarik itu menyebabkan rekan Zaglul dari Warta Bhakti berkata, "Kau hampir membuat saya dipecat. Saya dipanggil bos, melemparkan Sinar Harapan dimuka saya lalu bertanya, mau jadi wartawan nggak?"
Sekali aku memberanikan diri masuk ke istana walaupun tak punya kartu pers istana dengan cara ngobrol santai dengan gadis-gadis Bhineka Tunggal Ika. Bung Karno berpidato berapi-api menyambut berhasilnya pendakian Jayawijaya di Irian. Lagi-lagi karena takut ada wartawan kiri yang membisik kepada intel bahwa aku manikebu kualat maka alat tulisku menolongku. Aku mencatat pidato Bung Karno dengan steno supaya intel-intel mengenalku sebagai wartawan yang sibuk. Aku keluar dari istana. Aku ingin membual kepada rekan wartawan bahwa ada intel yang melihat aku sibuk menulis dengan steno lalu membawa kopiannya kepadaku.
Ketakutanku ini mungkin berjangkit dari Wiratmo Sukito, konseptor Manifes Kebudayaan yang diejek dengan istilah manikebu. Ketika manikebu diganyang aku membonceng dia dan di atas sepeda motor ia mengatakan. "Saya takut, Son, saya takut..." Aku juga takut, apalagi ketika terbang bersama rombongan Menteri Perkebunan Frans Seda ke Surabaya. Panitia penyambut menteri membaca nama-nama rombongan yang terdiri dari 30 orang. Seorang anggota panitia penyambut begitu melihat namaku, berkata keras, "Ini manikebu!" Sialan - kataku dalam hati dan mulai takutlah aku. Malam itu aku mencari mantan-mantan peer group-ku di bidang kesenian dan begadang sampai pagi.
Dua hari sebelum pembunuhan jenderal dan perwira Piere Tendean, ada seorang tukang rumputnya seorang haji penjual daging menggali lubang di tanah kosong bukan miliknya.
"Mau bikin comberan untuk limbah usaha tahu?" tanyaku.
"Gali saja," katanya.
Setelah mendengar pengumuman radio di pagi hari oleh Dewan Revolusinya kolonel Untung lewat radio. Aku ke kantor lalu berkeliling seharian meliput situasi. Malam itu tukang rumput itu datang dan menanyakan perkembangan situasi. Aku mengatakan bahwa RRI baru direbut oleh tentara non komunis. Lalu ia kembali ke rumahnya. Besoknya ia sekeluarga dan anak lelakinya yang bekerja sebagai sopir truk pindah rumah. Rumahnya kosong. Semula aku tak berpikir macam-macam. Baru setelah menonton dramanya Taufiq Ismail yang mengatakan bahwa sehabis pembantaian jenderal maka akan menyusul ulama, intelektual dan seniman barulah aku membayangkan dan bertanya apakah lubang itu untuk aku dan anak isteriku? Benarkah apa yang dikatakan dalam drama Taufiq itu? Padahal aku baru saja menerima teman sekelasku di SGA Kristen bernama Achmad Fanany dan isterinya yang ternyata terdaftar sebagai anggota PGRI bawahan PKI. Aku mencarikan dia pekerjaan.
Mula-mula datang si Pending Emas ke gubukku, mencari seorang lay out man. Aku perkenalkan temanku itu. Kemudian aku masukkan dia ke Harian KAMI. Ia luput dari pembunuhan massal di Jawa Timur. Ini semata karena humanisme seniman. Aku lihat juga Gunawan Muhamad menerima seorang wartawan yang pernah berkata bahwa kalau komunisme menang, saya bunuh Gerson. Ternyata Gunawan Mohamad pun humanis sejati.
Malam pembantaian para jenderal itu punya cerita bagiku. Tahun lalu aku diundang oleh Markas Besar Kepolisian untuk meliput wisuda polisi di Mega Mendung. Busnya menunggu di Markas Besar. Jam enam wartawan diangkut. Aku katakan kepada isteriku supaya bangunkan aku jam dua dinihari. Seperti tahun lalu aku akan berjalan kaki pukul dua lalu mampir minum kopi atau teh di sejumlah warung sepanjang perjalanan dari rumahku di Jl Piere Tendean sekarang ke Kebayoran Baru. Rasanya seperti ada malaikat yang melarangku keluar rumah walaupun isteriku sudah membangunkanku. Kalau aku bangun dan berangkat tentulah aku dan polisi bersepeda itu akan mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Polisi itu tentu bebas tetapi di sana ada Pemuda Rakyat dan lain-lain mengenalku. Apakah aku akan dimasukkan juga ke dalam sumur? Ah, ada-ada saja imajinasi ini!
Pertemuanku terakhir dengan Bung Karno ketika Sukmawati menikah di rumah Ibu Fatma di Kebayoran Baru. Aku pura-pura masuk lewat pintu halaman depan. Seorang tentara berpakaian sipil menegurku. Aku mundur dan berdiri bego bersama wartawan dalam dan luar negeri yang ingin tahu keadaan Bung Karno setelah delapan bulan ditahan. Akan tetapi akhirnya aku bisa masuk dan duduk bersama kerabat Bung Karno kira-kira dua jam lamanya dan ketika Bung Karno datang aku melihat lututnya yang gemetaran mungkin karena encok ketika naik tangga pintu rumah, ditarik oleh Ibu Fatmawati.
Tiba-tiba aku dipeluk oleh seorang petugas dan membawa aku keluar lewat pintu samping melewati kamar anak-anak Bung Karno. Petugas yang menjaga di pintu halaman depan membentak marah. "Hah, dia bisa masuk ya!" Untung ada teman yang melerai dengan kata-kata lucu kurang lebih, "Dia itu orang Sunda, namanya gelap." Lalu seorang wartawan asing mengejarku, berkata, "We pay you, we pay you." Maksudnya dia akan membayar informasi yang kuperoleh dari dalam. Akan tetapi aku tidak ngobrol dengan teman-teman, takut dilihat Oom Yu Sin wartawan tua Sinar Harapan yang sering memarahiku ketika sosialismeku kumat membagi berita eksklusif. Hore,motor merek Jawa mendetak-detak ke kantor disusul mesin tik kantor mendetak-detik menulis berita eksklusif. Itulah pertemuan terakhirku dengan Bung Karno. ***
Sumber Posting: Suara Karya - Sabtu, 22 Maret 2008
The Colors of Heaven
Vintage, $11.00
by Leonard Casper/Boston Review
Asian nations bordering the Pacific usually are mentioned only in connection with their lustrous "tiger economies" or the ruinous fallout risked on the volcanic "rim of fire." The title given the 19 stories collected and edited by Trevor Carolan may seem to suggest an alternative view -- that of romantic tales in search of a musical score by successors of Rodgers and Hammerstein. These stories are far too scrupulously realistic for that; and yet they do manage a tentative faith in the possibility of humanity in an age of slaughter. The resilience of so many characters, in the midst of ominous mishap, signifies an amazing courage.
Revealing that these people possess a hidden strength probably goes beyond the more immediate motive of Canadian-born Carolan. His stated intention is not to offer models for admiration but merely to open more windows of awareness, in the West, onto the cultures of Japan, Korea, China, Taiwan, the Philippines, Malaysia, Thailand, Singapore, and Indonesia. (For good measure Australia and New Zealand are included.) While statistics can review impersonally the economic rigor and collective political importance of this rapidly developing arc of Asia, fiction provides a human dramatization of just how daily life on that north-south dateline is endured and transformed. Story after story in this collection is peopled by individuals shaped by forces directed toward collision but diverted toward coalescence.
Post-colonialism in Southeast Asia and sweeping postwar changes in Japan and Korea have liberated energies which now can be used by entire populations to choose between conflicting heritages, such as Western materialism, the mitigation of poverty by people power, and spiritual transcendence. Within cultures-in-transit they can perceive stages of selfhood assembled in the space between total conformity and extremes of vanity. Their implicit demand is for respect beyond toleration, and the sharing of constructive power at all socioeconomic and political levels. The intensity of the energy released rises also from the sound of once-censored voices. Many of these stories are by women, no longer insignificant citizens in male-centered societies. Others are from voices long muted by power-protective national politics. Some are even the sound of speech still stifled and therefore concealed by ironic satire or wry humor, an underground literature of protest bulging beneath simple surfaces.
In Nhat Tien's "In the Footsteps of Water Buffalo," for example, two elderly Vietnamese offer to substitute themselves for a dying draft animal at the communal plow. Dangers of institutionalized matchmaking are lampooned in Catherine Lim's "The English Language Teacher's Secret," just as the tribulations of Gerson Poyk's principal character, in "Matias Akankari," make a mockery of civilized custom when the tribal youth from the hinterland encounters Jakarta. Conversely, an Australian aborigine's profound affinity with nature is treated with culturally sensitive levity, in B. Wongar's "The Family."
In other stories, the stress inherent in sociopolitical change cannot be laughed away so easily. The expense of survival is great. In Zhu Lin's "The Festival of Graves," an aging mother who dedicated her life to the duties of her commune yearns for her daughter's love and respect, without wholly comprehending their absence. The resettlement of the Korean family in O Chong-Hui's "Chinatown" means an advance in status but also a rediscovery of what being a stranger means. Similarly, the mix of new opportunities with a sense of dislocation is experienced by the characters in Yoshiko Shibaki's "Snow Flurry," as they become enmeshed in postwar urbanization.
Far more desperate are the lives in other stories. Jose Dalisay's "Heartland" reveals a military doctor's revulsion at orders to revive a young guerrilla so that information can be retrieved from his broken body. The young man in Kon Krailet's "In the Mirror" suffers even greater disgust when poverty turns him to "paid-for" sexual acts in a nightclub. In K.S. Maniam's "Mola," a country girl, trying to escape the constant monitoring of her behavior by family members, becomes a city bride, only to find that she must fight her business-obsessed husband for even the most elementary identity and esteem.
Yet even such stories of desperation escape being parables of futility or despair. The characters' resurgent will to aspire beyond inner contradictions or to confront such destabilizing conditions as impoverishment or displacement signifies a refusal to be overwhelmed. Disorder becomes an opportunity for rearranging one's life. In Kuniko Mukoda's "Doubt," an aging son persists in attempts to recover his integrity at his father's funeral. Shirley Geok-Lin Lim's "Mr. Tang's Girls" exposes not only the psychological battering of women forced into polygamy but their subsequent revenge as well.
Often these stories end unresolved, as if they are chapters in novels only contemplated, rather than in-progress. Told in the subjunctive mode (if only...), they are miniature semblances of entire Asian histories of this century, in which lives seem suspended -- but not lost.
Komentar tentang Novel SANG GURU
Buat saya, buku ini mau berkata bahwa guru itu manusia. Kehidupan di masa mudanya, pergumulan dengan masalah ekonomi yang dialami juga dialami oleh orang lain pada umumnya. Ketika saya memandang guru, dalam benak saya, mereka adalah orang-orang yang berhati mulia, suci dan tidak berbuat salah. Mulia-nya. Tapi dibuku ini, saya melihat suatu sisi yang nampaknya tidak bisa diterima oleh konsep guru di atas.
Tapi, ya itulah...guru juga manusia... (halatuputty.blogspot.com/)
SANG SUTRADARA
oleh Curah Bebas
Gerson Poyk mengayuh sepedanya perlahan-lahan, menyusuri jalanan naik turun kota kupang. Di sebuah tikungan, ia melihat air menggelontor di dinding tebing karang mengguyur ke selokan. Beberapa perempuan sedang mencuci pakaian, satu dua anak bertelanjang ria mandi.Pengarang besar ini pun turun dan memarkir spedanya ditepi. Lalu, ia melucuti pakaian hingga tinggal celana pendek ‘putih tua’-nya. Dan, byur! Ia mencebur ke selokan berair bening itu.
Para perempuan tentu saja melengos dengan pipi merah, jengah. Sebagian saling berbisik sambil mencuri-curi pandang ke arah Gerson yang duduk di tengah selokan, menikmati sejuk dan segarnya air di tengah teriknya kota karang itu.
“Mereka pikir, mungkin saya ini orang gila. Mandi sembarangan saja di tepi jalan. Padahal, apa salahnya. Saat itu air demikian melimpah, padahal Kupang ini kota kering kerontang. Mengapa tak kita nikmati air itu manakala kita membutuhkannya. Dan saat itu saya memang butuh air segar. Jadi, ya mandi saja di sana,” katanya, ringan.
“Mereka tak tahu, kalau yang bertelanjang itu pengarang dan seniman besar, ya?” ujar seorang rekan seniman dan wartawan. Gerson terkekeh. Sambil bersama-sama menyesap bir dan menikmati ikan yang kami bakar di atas pasir di pesisir kota Kupang malam itu, kami tertawa membayangkan adegan yang dikisahkan Gerson.
Boleh jadi, para perempuan yang sedang mencuci kain dan memandikan anaknya di selokan itu heran. Kok, ada gaek yang nyelonong begitu saja ikutan mandi di tempat yang bukan tempat mandi.
Lelaki itu mungkin merasa masih tinggal di dusun, di mana orang biasa mandi di sungai, kolam atau pancuran. Padahal, bagi yang bersangkutan, hal itu tak ada bedanya. Mandi di tempat mana pun, tetap saja mandi. Air di belahan bumi di mana pun ya tetap air. Gitu aja kok repot.
Mungkin tempat, wilayah, atau lingkungan semacam kota di mana pun orang-orang semacam Gerson Poyk tingal, samalah maknanya dengan panggung sandiwara atau penhtas teater, dan mereka adalah bagian dari kisah penuh makna yang mengalir di dalamnya. “Ini memang teater. Teater konkret,” kata sahabat saya di Bandung, seorang sutradara yang belakangan lebih dikenal sebagai politisi dan anggota parlemen tingkat propinsi.
Seorang seniman tak akan pernah berhenti berkarya, sebagaimana pula seorang jurnalis tulen, katanya. Dan, saya lantas teringat petualangan kami menerbitkan tabloid Jumatan (bukan mingguan, heheh…) jauh sebeluym hiduk pikuk eforia reformasi. Koran mingguan, eh Jumatan itu, sempat sukses meski harus kucing-kucingan dan bergerak di bawah tanah karena penguasa masa itu demikian represif.
“Ini juga bagian dari akting memerankan realitas di dunia nyata. Macam inilah teater kontekstual,” ujar teman yang sudah menyutradarai drama Eugene Ionesco, pada usia 20 tahun ini. Lebih 10 tahun kami tak bertemu, dan malam pertengahan April lalu, ia mendadak muncul menemui saya.
“Aku sedang merancang perggelaran lagi. Kita libatkan realitas ke atas panggung teater,” ujarnya. Kita? Saya termangu berusaha mencerna gagasannya, sebab saya merasa bukan lagi bagian dari dunia itu.
Situasi macam itu pula, ketika beberapa hari kemudian, sahabat saya yang lain, seorang penata tari gopoh galah menawarkan gagasannya untuk membuat gubahan dan menyajikannya kepada publik.
“Kini, mediumnya banyak. Dulu, kita cuma punya satu TVRI, sekarang TV-TV swasta itu kekurangan sajian lokal, kecuali opera-opera sabun colek yang nggak jelas juntrungannya itu. Ayo, kita maju lagi,” katanya. Kita, lagi? Lagi-lagi saya bingung. Sebeba seperti tadi, saya sudah merasa terlalu lama lepas dari dunia kesenian itu.
“Omong kosong, bukankah selama ini kami seacara nyata mempraktekkan seni menulis, seni berkomunikasi dengan massa melalui mediamu?” ujarnya. Betul juga. Tapi saya tetap merasa sudah terlalu berjarak dengan panggung-panggung sandiwara seperti itu.
“Saya sih tetap merasa perlu, sesekali –kalaupun tak selamanya– menggarap pementasan-pementasan lagi,” kata rekan yang kini jadi penhgelola radio swasta itu.
Ya. Rupanya suatu saat seorang pekarya teater seperti teman saya itu rindu juga pulang kampung ke panggungnya yang sempit dengan set dan penonton yang begitu-begitu juga. Sebab itulah salah satu cara untuk tetap menggeletarkan rutinitas hidup dengan nilai-nilai seni yang cuma bisa diserap oleh selsel batini. “Teater harus tetap berkibar,” ujar Adjim Arijadi, seniman besar Banjarmasin, suatu saat.
Karena itulah, “Ken Arok” ini tetap pada komitmennya di dunia kesenian, meski –semua orang pasti mengakui– hal itu sulit dilakukan pada tataran masyarakat yang kian hari makin lelap terbius kenikmatan hiburan yang makin mudah diperoleh berkat merajalelanya kapitalisasi di berbagai bidang dan sektor kehidupan.
Adjim, seperti juga para seniman lain, tentu sangat merasakan pahit getirnya jatuh bangun berolahkarya dan menyodorkannya kepada publik macam ini.
Toh ia tetap pada komitmennya berkesenian, meski kadang pontang-panting walau sekadar untuk membuka sanggar.
Tanpa sanggar pun, kata Adjim, tak jadi soal. Yang penting, teater dan dunia kesenian harus tetap berkoibar selamanya. Nilainilai kesenian harus bisa menjalrai denyut kehidupan masyarakat yang kian hari makin tak rasional seperti saat ini.
Komitmen macam ini pula yang saya tangkap dari tokoh macam Andrzej Wajda. Sineas gaek dari Polandia ini masih terus berkarya meski usianya sudah lewat 70 tahun. Eenergi berkeseniannya tetap dia ekspresikan lewat karya-karyanya yang sebagian besar jadi bahasan para ahli.
“Film-film saya merupakan film-film Polandia terpenting, yang dibuat oleh seorang Polandia untuk orang-orang Polandia,” kata Wajda pada suatu ketika.
Tapi, semua orang tahu, Polandia cumalah setting mikro, sebab film-filmnya bicara tentang nilai-nilai manusiawi manusia yang tentu tidak hanya menyangkut orang Polandia. Pan Tadeusz, misalnya. Film ceritanya yang ke-54 dan merupakan saduran sangat luas atas syair kepahlawanan dari penyair Polandia Adam Mickiewicz, toh berhasil mengalahkan Titanic dalam penjualan tiket masuk bioskop di negara itu.
Pencinta film melihat film-film Wajda bernilai universal dan bisa merupakan studi mendalam mengenai nasionalisme dan ideologi, sekaligus gambaran tentang romantisme masa kanak-kanak yang –tentu– sah-sah saja di mana pun.
Ini pun kita lihat pada tokoh macam Teguh Karya, Eros Djarot, dan Garin Nugroho. Nilai-nilai universal yang mencuat pada karya mereka, membuat karya itu tetap hidup di segala zaman dan berlaku bagi segenap umat manusia.
Kita yakin, apa yang mereka sodorkan, sedikit banyak, pasti ada pengaruhnya pada perkembangan kehidupan masyarakat kita. Kelembutan, keindahan, cinta-kasih, dan komitmen pada hati nurani yang dialirkan lewat nilai-nilai seni, sangat mungkin ikut memberi warna pada kehidupan. Sebab kehidupan itu sendiri adalah teater nyata hasil karya Sang Maha Sutradara Agung.
Bahwa kemudian wajah masyarakat kita masih terlihat belepotan dengan lumpur kekerasan, kekasaran, ketakadilan, kemunafikan, dan kemiskinan cintakasih, dan lain sebagainya, itulah yang mungkin memang dikehendaki Sang Maha Sutradara Agung.
Maksudnya agar kita tak lantas berpongah diri, sebab ternyata menyutradarai diri sendiri saja belum bisa, sudah sok mau mengatur laku-lampah orang lain. Jadinya, ya kacau balau terus. Baku hantam terus. Rusuh terus. Begitulah. ***
Writing on the border: Irian, Indonesia literature and Gerson Poyk 's "Matias Akankari" by David T. Hill
Irian.... by any other name
In his short story "Matias Akankari" Gerson Poyk uses the term "Irian Barat" (literally "West Irian") for the territory which lies to the west of the central north-south international border dividing the island of Papua. To the east of that border now lies Papua New Guinea. To the west, a land in dispute, a former Dutch colony incorporated into the independent state of Indonesia under controversial circumstances between 1963 and 1969. Initially called Irian Barat in Indonesian its name was later changed to "Irian Jaya" (literally "Glorious Irian") after its incorporation. Within the territory a separatist movement continues to press for independence through secession from Indonesia. They reject the name 'Irian' as an Indonesian artifice1 and prefer to use "Papua Barat" (West Papua), emphasising common links with Melanesian cultures and heritage to the east, rather than with non-Melanesian Indonesia to the west. Similarly they refer to the people of their territory not as 'orang Irian' (Irianese), but as 'orang Papua' (Papuans) or 'Orang Melanesia' (Melanesians).
Irian as contested periphery
Despite its proximity, few Australians know anything of West Papua/Irian Jaya. In recent years it attracted the attention of the Australian media when, during the early months of 1984, there was a mass exodus of more than 10,000 refugees fleeing across the land border to Papua New Guinea. The arrival of five West Papuan refugees on a remote Australian island in the Torres Straits the next year further emphasised just how close West Papua and its problems were to continental Australia.2
The territory has a complicated post-war history. During the War of Independence (1945-49) against the Dutch colonial power, Indonesia claimed all contiguous territories in the former "Netherlands East Indies". Negotiations were held concerning the inclusion of the Dutch-controlled part of the island of New Guinea, but these bogged down in stalemate. This irredenta was excluded from the initial agreement, which accepted that the status quo be maintained in West Papua pending further negotiations within a year of the Dutch Transfer of Sovereignty to the independent state of Indonesia in 1949. However West Papua remained a source of constant tension between Indonesia and the Netherlands, which established elected local councils and a territory-wide New Guinea Council in a measure of territorial self-government.3
Indonesia made numerous attempts to mobilise world public opinion against continued Dutch colonial control of the territory. In 1954, Indonesia launched the first major infiltration of West Papua. In a feeble show of force, it landed nearly 50 infantry on the south coast. Discussions continued, both inside and outside of the United Nations, until on 19 December 1961, President Sukarno gave orders for substantial military action to 'liberate' West Irian, involving among other strategies, the dropping of parachute troops into the jungles.4 In an atmosphere of increasing Indonesian militancy, on 15 August 1962, the Indonesian and Dutch representatives at the UN in New York signed an agreement placing the territory under Indonesian rule from 1 May 1963. This agreement was conditional upon a plebiscite being held in 1969 to assess whether the Papuan people wished to remain part of Indonesia or secede as a separate state.
The consequent interim Indonesian administration was poorly regarded both by West Papuans and foreign observers. After a visit to the territory in 1968 the Australian journalist Peter Hastings, who took a particular interest in West Papua over several decades, wrote that, since 1963:
the Administration, backed by the Army, was left to its own heavy-handed devices. Shops were looted, consumer goods disappeared and development projects either languished or in many instances were totally abandoned. Imported foods disappeared and urban Papuans used to artificially high wages and full employment under the Dutch were forced to return to subsistence gardening in order to get enough food to eat.5
Anecdotal stories spread about the Indonesian forces stripping the territory of consumer goods left by the Dutch. Such goods were frequently in short supply in Jakarta. For example, one West Papuan political refugee in Australia later claimed that even the advanced medical equipment in a hospital at Jayapura, the capital of West Irian, was dismantled and taken back to Jakarta. Such unconfirmed stories were routinely denied by the Indonesian authorities. But even such pro-Indonesian Papuans as a member of the Indonesian Provisional Parliament, the People's Consultative Assembly (MPRS), decried Indonesian officials who were going to the territory "for business and not to build up the territory".6 Anti-integration resistance groups emerged throughout the territory, most notably the OPM (Organisasi Papua Merdeka, Free Papua Movement), demonstrating publicly and engaging in sporadic acts of insurgency and sabotage.
Despite such resistance, Indonesia gloried in the irredenta's return to the motherland. A massive statue was built atop two huge vertical concrete pillars in a 'Yogyakarta socialist realist' style, symbolising the 'liberation of West Irian' from Dutch colonial rule. It depicts a rugged, wide-eyed, semi-naked (Irianese?) figure, with his muscular arms brandishing skywards the trailing broken chains that had bound him.7 The monument stands in Banteng Square, right in the heart of Jakarta, a stone's throw from Thamrin Road, a six-lane boulevard show-piece, which, at the time of West Irian's incorporation, was virtually the only prestige commercial strip in the dilapidated capital, and site of Hotel Indonesia, then the only multi-storey "international class" hotel.
The 'Act of Free Choice' which took place in 1969, under strict control of the Indonesian government, was a farce, orchestrated to legitimise Indonesian absorption of West Irian. Indonesia rejected the UN proposal for one person, one vote. Of the 800,000 Papuan inhabitants, only 1,025 representatives (chosen by the Indonesian government) had the franchise. To no-one's surprise they opted for continued inclusion within Indonesia.8
Temporary world attention on West Papua quickly shifted. Foreign entry into the new province was restricted and news from there was infrequent. The separatist movement maintained both its guerilla war against the Indonesian Army with sporadic skirmishes, and a diplomatic campaign demanding independence for the West Papuan nation. There continued periodic public demonstrations and attempts to raise the "Morning Star" flag of an independent West Papua. Papuan nationalists pointed to the dominance of ethnic Javanese in all civilian and military agencies within the province, and the limited opportunities for the advancement of local people, assertions corroborated in recent years by an Indonesian former military commander.9 Clearly after nearly three decades of Indonesian control, the territory of West Papua remains restive and resistant to the central government in Jakarta.
Ethnic minorities as internal diaspora
West Papuans, and in many cases their compatriots from the other peripheral regions of Indonesia, face the dilemmas of many disempowered ethnic minorities. If they stay in West Papua opportunities for self-advancement are limited. Local communities are under increasing pressure from outside political and commercial interests, which often undermines their fragile autonomy and the authority of their community leaders. Rights to traditional land and the sustenance it offered are being eroded. Local educational facilities are at best modest. Economic opportunities are likely to be in the hands of non-Papuans, who may regard the locals as 'backward' ("belum maju") or 'stupid' ("bodoh").10 Caught within borders over which they have no control, the West Papuans are being marginalised by waves of transmigrants from other parts of Indonesia.
Facing such challenges, many West Papuans have followed the strategies of other diasporic communities. If they reject Indonesian control, they may choose to seek refuge abroad, in PNG, Holland (both of which have relatively sizeable West Papuan communities), Australia, Vanuatu or elsewhere in the South Pacific, and recently also in Ghana and Sweden. If they seek to accommodate themselves to Indonesia, they may still need to disperse, to move from their homelands on the border to the nation's Centre, to the vortex of multi-ethnic Jakarta with its greater anonymity and the possibilities of government or private sector employment, to other parts of Java with its better universities and schools, to Bali with its burgeoning tourist trade and service industry jobs.
For many the attraction of the capital is irresistible despite the consequent need to tailor ethnic and national identity in accordance with those around them. As one man from West Papua now living in Jakarta put it, his identity
depends on who I am talking to. The discreet (halus) response is that I'm Irianese. The honest one (terusterangnya) that I am Papuan. But if [Jakarta people] call me Papuan, that's an insult because to them Papuan means people who still live in jungles, who haven't learnt to eat rice... When I want to assert my right to exist I am Papuan. When I want to foster links with Indonesians I am Irianese.11
Irian in Modern Indonesian Literature
In 1980 an article in Indonesia's largest daily newspaper pondered on why it was that the canon of modern Indonesian literature provided no place for material written by Irianese. It observed that of the 60 most prominent literary figures included in the most comprehensive anthology to date, not one came from Irian. Nor did there appear to be any interest by Jakarta publishers, writers or literary critics in literary production in that province.12 Little appears to have altered in the twelve years since those observations were made. To my knowledge the only material on Irianese 'literature' consists of collections of 'folktales' published by the government printer.13 While undoubtedly the national language of Indonesian was not widely used prior to incorporation, this is no longer a major hurdle to the production of Indonesian literature in Irian, since language competence improved rapidly after incorporation. As a lingua franca bridging speakers of separate regional languages or dialects Indonesian is now used widely even within the separatist movements. Yet Indonesian literature continues to be largely the preserve of writers from the numerically dominant Javanese and Sundanese ethnic groups, with strong representation also from Sumatrans. To date, no Irianese author has gained national recognition and to my knowledge only one novel has been published dealing with West Papua.14
It is in such a context that the short story by Gerson Poyk takes on a certain pioneering significance. Entitled "Matias Akankari", the name of the Irianese who forms the story's central character, it is a rare example of Indonesian literature about the people of Irian.15 In it Gerson Poyk, an Eastern Indonesian author from the island of Rote in the Lesser Sunda (Nusa Tenggara) island chain linking Java to Papua, highlights the cultural ravine that separates the Irianese from the metropolitan culture of Jakarta. The story may be seen as ridiculing culturally inappropriate government campaigns to "Indonesianise" the Irianese, most notably with Operasi Koteka in 1970 designed to encourage men to dispense with the traditional koteka or penis gourd in exchange for Indonesian (European) dress. As part of this 'operation' primary school children received 6,000 kits containing clothing, writing materials, an Indonesian flag and picture of President Suharto, and Indonesian government TV showed stage-managed displays of West Papuans throwing away their koteka as they accepted government-issue trousers.
Poyk, though no Irianese, is himself a minority writer, one of a bare handful of authors from Eastern Indonesia. It is more than likely that his sympathies for other minority groups have been sharpened by his own experience as an outsider in a Javanese-dominated society. Born on 16 June 1931 at Namodale-Baa, Rote, he was schooled in the neighbouring islands of Flores, Alor, Timor and finally in Surabaya, East Java, before teaching on other outer islands of Indonesia, on Ternate and Sumbawa, till 1958. He has been writing short stories since the 1950s. Most of his adult life has been spent living in Java and Bali, with long frequent travels throughout Indonesia and overseas as a peripatetic journalist, often freelancing. One of his specialities has been reporting from the periphery of the state, about villages and their people far removed from the capital. His skills as a journalist have been recognised with a major national award, the Adinegoro Prize for Best Journalist, for two years in succession in 1985 and 1986. His no-less-significant achievements as a writer of non-fiction were acknowledged with several national plaudits, such as the annual award offered by the literary magazine Sastra [Literature] (in 1961), and the prestigious ASEAN literary prize in 1989.16 Despite such attention it appears only one of his stories has been published in English translation.17
Gerson Poyk is regarded by his colleagues in journalism and literary production as something of an eccentric, a spartan living in frugality and simplicity in an era when all around him strive for the trappings of middle-class comfort as a measure of their success. Indicative of this was the fact that of all the writers I visited during two years research in Jakarta in the early 1980s, he was the only one whose home had an earthen floor. He was often described to me as a wanderer and a lover of life, whose unconventional lifestyle was occasionally reminiscent of modern Indonesia's most revered poet, the bohemian Chairil Anwar, who died in 1949.
While not active in organisational or party politics, Gerson Poyk is concerned with common issues of common people. In the early 1980s he was involved in establishing a small Institute for National Studies (Institut Studi Nasional) to foster research into social and political issues. The institute gathered various former student activists and artists into a critical forum on government policies. More recently, he attempted to establish a non-government college for the training of film workers, in an attempt to stimulate a counter-veiling critical tradition to that of state-sponsored cinematography colleges. His concerns are often those of minority groups - ethnic, social, political, economic - whose voices are rarely heard, either within or without the nation's boundaries.
"Matias Akankari" is generally regarded by Indonesian literary critics as "a satire against metropolitan society, the jet-set society undergoing cultural degradation".18 In much of Gerson Poyk's writing his style is 'naturalistic', often heavily sarcastic, sharpened by pathos. Light of touch, they suggest a deep sympathy for and underlying identification with minority characters. Several stories, such as "Matias Akankari", might be regarded as laying bare social and cultural prejudices, though other readings might suggest his unflattering depictions pander to stereotypes. Matias is depicted as an oddity out of place in his 'national' capital. But is he held up to ridicule, as naively "primitive"? Or is it the capital and the State which has its seat of power there which are ridiculed for their inability to accept difference, for hypocrisy, materialism and elitism? Is the Indonesian state like the woman who seduces Matias; tantalisingly offering much, but demanding payment the Irianese is not able to make? Will Matias (and his compatriots from the fringes of the nation) always be alienated and isolated even while sleeping under the monument celebrating their 'liberation'? Will they be forever homeless like the woman giving birth? It is clearly not his capital, for it offers him nothing. Even when the passengers in the sleek motor cars are black like him, their interests are not his. He has no space, no part to play, except, perhaps, like the strip-tease dancers in the dimly lit club, as demeaned amusement for anonymous masters. In whose eyes are Jakarta elite and Irianese villagers "just the same" in the end?
This might not be an Irianese story. It might not written for Irianese, nor might its perspectives be theirs. But perhaps it does offer the unique possibility of inserting an Irianese presence into Indonesian literature.
Notes
1Local critics of Indonesia's incorporation of West Papua suggest, somewhat tongue in cheek, that the name "Irian" may have been coined as a covert Indonesian acronym for "Ikut Republik Indonesia Anti Nederlands" ("Joining the Republic of Indonesia against the Netherlands").
2There have since been several books published on West Papua, some like the coffee-table photographic collection Robert Mitton, The Lost World of Irian Jaya, (OUP, Melbourne, 1983), others more overtly political and critical, such as Robin Osborne Indonesia's Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya, (Allen & Unwin, Sydney,1985), and Carmel Budiardjo and Liem Soei Liong,West Papua: The Obliteration of a People, (Tapol, London, 1988) .
3A useful overview of this period is given in Justus M. van der Kroef, Indonesia after Sukarno, (University of British Colombia Press, Vancouver, 1971). See particularly p.126.
4From their inception the Indonesian military strategies were not particularly successful. Australian journalist Pat Burgess was in West Papua in May 1963 with Indonesian parachutist forces under the command of Benny Murdani (later to become Commander of the Indonesian Armed Forces and Minister for Defence). He wrote of Murdani and the parachute invasion: "Sometimes we found his own paras [sic], still in the shrouds of their chutes, swinging from the trees where they had died." (See Robin Osborne (1990) "Sukarno and Murdani in Irian Barat", Inside Indonesia, No.24, October, pp.32-33.) For a discussion of the domestic political and economic context of the decision to initiate military action, see Malcolm Caldwell and Ernst Utrecht, Indonesia: An Alternative History, (Alternative Publishing Co-operative, Sydney, 1979), p.114.
5Hasting's article in the September-October 1968 edition of New Guinea is quoted in van der Kroef 1971:128.
6The statement by F. Karubuy on 10 March 1967 is quoted in van der Kroef 1971:132.
7For a discussion of the significance of this and other monuments in Indonesia, see "Cartoons and Monuments: The Evolution of Political Communication under the New Order" (pp.154-193, particularly pp.174-5), in B.R.O'G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, (Cornell University Press, Ithaca & London, 1990).
8For a highly critical study of Indonesian handling of West Papua's 'Act of Free Choice', see Nonie Sharp, The Rule of the Sword: The Story of West Irian, (Kibble Books, Malmsbury Vic., 1977), particularly p. 22.
9An illuminating account of how the Indonesian military see the territory and its inhabitants is given in a report by Marine Lieutenant-General Kahpi Suriadiredja, commander of the region for two years from March 1983. Published as Tantangan dan Perjuangan di Bumi Cendrawasih [The Challenge and the Struggle in the Land of the Bird of Paradise], (Sinar Agape Press, Jakarta, 1985), translated excerpts appear in Ron Hatley "Confessions of a military commander", Inside Indonesia, No. 8, (October, 1986) pp.15-19.
10For outside views of recent developments in West Papua, see Saila Indri "Letter from Lake Sentani", Inside Indonesia, No.15, (July, 1988), pp.13-16; and S.T. Moir, "More than waving the flag: Images of resistance in West Papua", Inside Indonesia, No.23, (June, 1990)pp.8-10.
11Quoted in Saila Indri 1988:13.
12The article David T. Hill (1980) "Suara Kemerdekaan: Tulisan hitam baru dari Papua Niugini", Kompas,2 November, p.8, was a review of comparable writing across the border, specifically Ulli Beier (ed.),Voices of Independence: New Black Writing from Papua New Guinea, (UQP, St Lucia, 1980) .
13For an example of this kind of publication, available in English, see Suyadi Pratomo (1983) Folk Tales from Irian Jaya, (translated from the Indonesian by David T. Hill), Balai Pustaka, Jakarta. This collection was compiled by a Javanese and initially published in Indonesian by the government publisher, Balai Pustaka, in 1979. West Papuans have been recognised for other forms of artistic production. Local cultural-nationalist groups, such 'Mambesak' fostered by the Australian-trained anthropologist, Arnold Ap (killed in Indonesian custody in 1984) were producing songs and material arts, like sculpture and painting. In the popular music industry The Black Brothers band gained a national following until they sought political refuge abroad in the mid-1980s, initially in PNG, then moving via Holland and Vanuatu to Australia.
14In 1981, the Javanese Catholic priest Y.B. Mangunwijaya published a novel, Romo Rahadi (Pustaka Jaya, Jakarta), in which a Javanese priest goes to Irian Jaya for a period. While a significant part of the story takes place there (including an episode when the Indonesian military have to intervene in a tribal war!), the main characters are not Irianese, in contrast to "Matias Akankari". This novel did not gain as much critical or public attention as Mangunwijaya's several other novels.
15As far as I am aware "Matias Akankari" was the first piece of published Indonesian prose fiction dealing with West Papua or West Papuans when it appeared in 1972 as the title story in a collection by Gerson Poyk.
16A biographical outline Gerson Poyk can be found in Pamusuk Eneste (1990) Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern, Djambatan, Jakarta, p.67. For a brief overview of his other work, see Korrie Layun Rampan (1982) Cerita Pendek Indonesia Mutakhir, Nur Cahaya, Yogyakarta, pp.179-196. For his reflections on his past and his writing, see Gerson Poyk (1984) "Dari Momen Kunci ke Momen Kunci" (pp.71-92) in Pamusuk Eneste (ed.), Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Vol. 2, (Gramedia, Jakarta, 1984).
17The only published translation I am aware of is "The Love Letters of Alexander Rajaguguk", (translated by Mary Louise Wang), Indonesia (Cornell), No.43, (April) 1987 pp.31-42. A valuable study of Gerson Poyk, including translations of several of his short stories, is currently being undertaken by Ramona Mitussis, an Honours student in the School of Humanities at Murdoch University.
18Quotation from Korrie Layun Rampan 1981:181.