Sabtu, 26 April 2008

BERLAYAR KE MIANGAS

Cerpen Gerson Poyk

Di atas pesawat yang terbang dari Bandara Sukarno-Hatta menuju Manado, tidak ada yang unik. Rasanya biasa-biasa saja. Sebelum transit sebentar di Makassar, penumpang diberi aqua gelas plastik dan sepotong lemper lebih besar sedikit dari ibu jari. Akan tetapi yang menarik adalah tetangga dudukku. Di sebelah kananku jendela dan di sebelah kiriku seorang wanita muda yang memperkenalkan dirinya sebagai dokter gigi. Ah, gigi lagi, gigi lagi, aku benci gigiku, gigiku pernah diperkosa habis-habisan oleh perempuan dokter seperti yang duduk di sebelah kiriku.

Aku tercenung mengenang pengalamanku dengan perempuan dokter gigi yang pernah mencabut gigiku yang pecah sendiri dan setengahnya tertancap di gusi atas mulutku. Ia mengatakan bahwa sepenggal gigi yang tertinggal di gusi atasku harus dikeluarkan dengan operasi, bukan dicabut. Maka sang dokter gigi itu mengoperasi gigiku. Namun walaupun tinggal setengahnya, kerasnya luar biasa sehingga ia berkeringat dingin mengomel sendiri, begini, "Kalau obat anti nyerinya hilang tenaganya, waduh, akan sakit. Apalagi umur Bapak sudah berkepala empat."
Walaupun mulutku tak boleh berbicara, aku ikut mengomel, "Walaupun sudah tua aku masih mencangkul kebun dan naik sepeda sepuluh kilometer sehari dari kebun ke rumah. Pulang pergi dua puluh kilometer sehari!"
"Wah, Pak Tua kita ini superman. Cuma gigi yang kalah. Wah bagaimana nih, sukar sekali menemukan kepingan gigi yang kecil dalam gusi Bapak. Bagaimana nih?" gerutu sang dokter gigi.
Mendengar itu, rasanya aku mau bangun dan menggigitnya.
Coba suntik lagi obat anti nyeri.
Sang dokter menyuntik lalu alat pencabutnya mengorek-ngorek lubang gusiku.
"Tolong telepon anakku. Bilang aku dalam bahaya," kataku kepadanya.
Ia menyuruh perawatnya menelepon anakku.
Begitu anakku tiba, gigiku telah tercabut!
Aku begitu senang, dengan keberhasilannya sehingga aku berterima kasih kepadanya. Mestinya aku marah tetapi aku tidak sampai hati mengomelinya.
Ada lagi pengalaman buruk dengan dokter gigi di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. Dokter gigi yang cantik itu ketika mengebor gigiku, asyik berbicara dengan temannya. Ketika ia mengeluarkan bor gigi, benda berbahaya itu menyerempet bibirku. Hampir saja aku sumbing. Semenjak itu aku tak pernah lagi berobat kepadanya.
"Bapak tinggal di Manado?" tanya dia, sang dokter gigi di sebelah kiriku.
"Tidak," kataku. "Saya akan meneruskan perjalanan ke Miangas," kataku.
"Bapak orang Miangas?" tanya sang dokter gigi.
"Tidak," jawabku.
"Tinggal di Jakarta tapi saya berasal dari pulau Ndana."
"Di mana pulau itu?" tanya dia.
"Pulau paling selatan di peta Indonesia."
"Kawin dengan orang dari pulau paling utara," katanya.
"Mengapa sendirian ke Miangas, tidak dengan nyonya?" sambungnya.
"Nyonya saya tinggal di Miangas, sekarang," kataku.
"Ini namanya pisah pulau," katanya.
"Ya, karena keadaan. Keadaan isteriku meminta ia harus tinggal di pulau kecil, pulau yang dikelilingi ombak samudra."
"Mengapa harus demikian?"
"Dia menderita penyakit jiwa. Lupa pada semua orang, bahkan anak dan suaminya. Lebih celaka lagi ia suka lari dari rumah, mengembara tak tentu arah. Pernah naik mobil sampai Cianjur, Karawang. Untung ada nomor telepon di bajunya sehingga polisi dan satpam serta preman yang menemukannya menelepon kami lalu kami jemput. Akan tetapi suatu hari, sehabis saya mandikan dia, dia berpakaian bagus dan tiba-tiba, walaupun dijaga ketat, dia bisa lari dari rumah tanpa nomor telepon di baju dan hilang selama beberapa bulan. Saya menemukannya secara kebetulan ketika saya ke kebun raya Bogor. Dia duduk di pintu gerbang sambil meminta-minta. Dia lupa bahwa dia masih punya suami dan anak. Semenjak itu keluarga sepakat untuk mengirimnya pulang ke Miangas."
Mengapa tidak masukkan dia ke rumah sakit jiwa?"
Sudah, tetapi anehnya, dia bisa lari dari sana. Di rumah ia sering lari melompati tembok setinggi tiga meter, di rumah sakit jiwa ia bisa lari menembus pagar kawat berduri. Aneh, lecetnya segera sembuh sendiri tanpa obat," tuturku. "Sudah beberapa kali dia ditabrak kendaraan bermotor dan digotong ke klinik dan rumah sakit tetapi kami dapat menemukannya kembali karena ada nomor telepon di bajunya. Sudah beberapa kali pula ia dibuang dari kendaraan umum."
"Tragis sekali," kata sang dokter gigi sambil menggigit bibir bawahnya. "Mengapa tidak tinggal di Pulau Ndana dirawat oleh keluarga pihak suami?" tanya sang dokter.
"Nenek moyang saya memang berasal dari Pulau Ndana tetapi kini pulau itu kosong melompong. Karena takut akan seringnya kapal asing, terutama kapal turis Australia ke sana maka kini ditempati oleh beberapa orang marinir secara bergiliran. Tiap enam bulan ganti orang, seperti juga di Miangas," kataku.
"Saya juga akan bertugas ke Miangas selama enam bulan."
"Seperti para marinir?" tanyaku.
"Ya. Saya perwira TNI Angkatan Laut."
"Wau, mengapa tidak pakai seragam? Lagi menyamar untuk mencari dan menjebak teroris?" kataku.
Dia tertawa.
Aku juga tertawa.
"Kembali ke isteri Anda. Apa kata dokter tentang penyakitnya?"
"Dementia," kataku.
* * *
Kapal bertolak dari Pelabuhan Bitung menuju Miangas melalui pelabuhan di beberapa pulau kecil di utara Sulawesi. Ketika kapal bersandar di dermaga Miangas di pagi hari, aku terkejut melihat istriku berdiri di atas timbunan karung-karung ikan asin dan kopra, menari-nari, melompat-lompat, bernyanyi dan berpidato. Aku tak dapat menahan air mataku ketika bersandar di geladak paling atas menunggu pintu kapal dibuka.
Tiba-tiba ada tangan halus menyorongkan tisu kepadaku. Aku memandang wajahnya, wajah dokter gigi perwira TNI Angkatan Laut itu.
Setelah minum obat yang kubawa dari Jakarta, isteriku tenang kembali. Ia tinggal di rumah saja dan makan teratur, tidur teratur selama sebulan tetapi bulan berikutnya ketika obatnya habis dan mesti mengambilnya ke Jakarta, isteriku kumat lagi. Namun ia tak bisa ke mana-mana lagi. Keluarga merasa aman, kecuali semua nahkoda kapal yang bersandar karena istriku selalu masuk ke kapal dengan tas lalu berceloteh bahwa ia ingin naik kendaraan laut untuk mengurus keuangan. Mereka sedikit repot menggotong istriku keluar dan menyuruhnya pulang.
* * *
Selama tiga bulan di Miangas, aku memasang kincir angin di beberapa titik pantai yang anginnya keras untuk memperoleh tenaga listrik. Listrik yang diperoleh dari kincir-kincir anginku membuat Miangas, pulau kecil yang berbatasan dengan Samudra Pasifik dan Filipina itu terang benderang.
Kerajinan rakyat berkembang. Tukang-tukang membuat rumah knock down dari batang kelapa tua, rumah yang indah memenuhi permintaan beberapa Negara terutama Jepang, Eropa dan Amerika. Pabrik ikan kaleng beberapa buah. Berton-ton ikan asin diekspor ke Afrika yang selalu kekurangan gizi itu.
Orang-orang Sangir-Talaud pria dan wanita sangat musikal. Berlatih di terang listrik di malam hari menghasilkan koor yang mendapat penghargaan internasional di luar negeri. Hanya akulah yang masih tetap murung dalam kabut perkawinanku.
Akan tetapi lambat laun Miangas menghilangkan duka nestapa perkawinan kelabuku. Akan tetapi hal itu untuk sementara saja. Pada suatu hari istriku menarik sebuah sampan kecil dan berdayung ke tengah laut untuk mengurus keuangan - katanya kepada seorang anak kecil pemilik sampan kecil pula. Maka hilanglah dia ditelan laut untuk selamanya.
Tidak lama kemudian, ketika kincir anginku sedang membawa cahaya dan tenaga untuk kegiatan industri di pulau itu aku dan dokter gigi itu menikah di sebuah gereja kecil di pulau yang kecil itu. ***

dicopy dari : http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=164350

Tidak ada komentar: