Sabtu, 26 April 2008

KIPAS CENDANA

Cerpen: Gerson Poyk

Hidupku sebatang kara. Akan tetapi, aku masih bisa hidup berkecukupan dalam arti tidak tergantung pada siapa-siapa, bisa makan tiga kali sehari dan bisa tinggal di sebuah kamar sewaan. Di kamar itu ada sebuah dipan dan kamar mandi dan dapur. Di emperan belakang atapnya agak menonjol jauh dari tembok sehingga kompor dan rak piring, ember dan sepeda bisa ditaruh di situ. Di kamarku ada sebuah televisi bekas yang menghiburku setiap hari.

Kalau saja anak perempuanku tidak kawin dengan seorang pria yang bekerja di Timur Tengah mungkin aku tidak sendiri karena anakku bisa mengurusku dan dua cucuku bisa menghibur aku. Akan tetapi syukurlah anakku bisa membantu kehidupan ekonomiku. Sejak lama ketika istriku masih ada, hidup kami pas-pasan. Istriku masak di emperan belakang untuk dijual. Ada ikan pepes, ada nasi uduk, sambal goreng tempe, ada ikan bakar, terung bakar, dan sambal yang kuberi nama ”Sambal Inul Cili-cili”.

Setiap hari aku berkeliling menjual makanan dengan sepeda. Aku mendayung sepedaku mulai dari pagi subuh sampai kadang siang kadang sore. Target penjualanku adalah pasar tradisional dan proyek-proyek bertingkat di mana para buruh sedang bekerja.

Akan tetapi, setelah istriku meninggal, semuanya berantakan. Anak gadisku terpaksa putus sekolah di kelas satu SMA karena harus membantu aku. Setiap malam aku harus masak meneruskan apa yang sudah dididik oleh istriku. Akan tetapi, sehabis masak aku harus beristirahat setengah hari sehingga makanan tidak utuh dijual dalam sehari penuh. Untunglah anakku berkenalan dengan seorang gadis Madura penjual kue cucur.

”Pak, aku ingin seperti gadis Madura itu,” kata anakku.

”Dia putus sekolah di SD, tetapi bisa menjadi direktris,” kata anakku.

”Ah, jangan bercanda,” kataku.

”Modalnya cuma satu kompor kecil dan satu panci adonan tepung beras. Dia pengusaha kue cucur. Laris sekali, Pak,” kata anakku. ”Aku ingin berdagang kue cucur seperti dia,” sambungnya.

”Tetapi bagaimana dengan usaha makanan warisan ibumu? Harus ditinggalkan? Apakah penghasilannya cukup untuk makan minum kita berdua?” tanyaku.

”Gampang. Modalnya cuma satu meja. Di atas meja itu makanan masakan Bapak sebagian ditaruh di atasnya dan sebagian Bapak bawa keliling dengan sepeda. Setuju?”

Maka, tiga hari kemudian ada sebuah lapak meja berisi makanan di pasar tradisional dan di pinggir meja ada sebuah kompor yang mendesir-desir menghamburkan aroma kue cucur. Gadis Madura, ”dosen” kue cucur anakku berjualan tidak jauh di samping lapak anakku. Setiap pagi dini hari anakku berjualan sendiri di pasar tradisional itu tanpa aku temani. Setelah tidur sampai jam sebelas siang aku menggenjot sepedaku menuju pasar dan mengambil sebagian dari makanan yang anakku jual itu. Aku berkeliling ke bangunan yang sedang sibuk, ke pagar di luar pabrik dan sebagainya.

Pada suatu dini hari seorang wartawan muda dari tabloid Suara Pasar, raja begadang malam, jongkok di depan kompor kue cucur anakku. Wartawan muda itu jatuh cinta kepada anakku. Dia memuat foto anakku dan foto gadis Madura itu, besar-besar di tabloidnya. Ceritanya panjang lebar dan menyinggung program candak kulak, yaitu kemudahan memperoleh modal kecil di masa Orde Baru, program yang tenggelam tak tentu rimbanya.

Selanjutnya anakku menikah dengan wartawan Suara Pasar itu, pasar tradisional itu.

Temannya gadis Madura itu murung sampai dengan suatu saat beberapa bulan kemudian sopir angkot melamarnya.

Tidak lama kemudian menantuku pindah ke Timur Tengah dan bekerja sebagai wartawan majalah OIL, yang bekerja di perusahaan minyak pula.

Namun, keduanya tak banyak membantu aku karena di sana mereka bekerja sambil belajar. Menantuku kuliah dan anakku melanjutkan pendidikan SMA kemudian ikut kuliah.

Akan tetapi, keduanya tidak lupa memikirkan kehidupan ekonomiku. Anakku mengirimkan uang kepadaku untuk modal membeli kipas cendana dan gahara untuk dijual di Timur Tengah. Selain kipas cendana juga kalung yang terdiri dari butir-butir kayu cendana dan gahara. Kemudian mereka juga meminta tetelan kayu cendana dan gahara untuk dibakar di anglo para hartawan timur tengah.

Dengan demikian aku sibuk dengan usaha baru sebagai pedagang kipas cendana. Setiap bulan aku mengirim komoditas dagang yang harum itu. Untuk kegiatan itu aku menyewa sebuah kotak pos. Semuanya serba kecil. Kotak pos kecil, sebuah kamar tidur yang kecil, tetapi dengan yang kecil itu aku berhubungan dengan dunia yang luas dan besar! Walaupun penjualan kipas cendana itu cukup lancar sehingga aku bisa membeli sebidang tanah kapling di Jakarta, anakku suami istri melarang aku membeli tanah untuk membangun rumah di kota, yang menurut anakku akan musnah oleh banjir air dan banjir manusia.

Cukup aneh pikiran mereka, buatku.

Setiap kali aku ke kantor pos untuk mengirim barang, aku mampir ke sebuah warung kecil yang terletak di halaman depan kantor itu. Untuk minum kopi atau makan.

Ibu Agus, pemilik warung itu, dibantu oleh anak gadisnya yang mempunyai adik lelaki yang belum disunat. Mula-mula aku hanya sarapan kemudian aku datang setiap hari untuk makan siang dan makan malam. Si Agus anak lelaki yang belum disunat itu sangat gembira kalau aku datang. Biasanya kalau ada uang receh aku hadiahkan kepadanya. Tiba-tiba pada suatu hari ia memperlihatkan sebuah celengan yang berat karena penuh dengan uang logam. Sungguh suatu kejutan bagiku melihat seorang anak yang ternyata ditinggal meninggal oleh ayahnya. Si Juli, kakak perempuan Agus adalah seorang gadis yang cukup berbakti kepada ibunya. Hampir setiap hari ia bekerja di warung kecil itu, kecuali kalau ia harus mencuci pakaian di rumah, menyapu, dan menjemur.

”Bapak bekerja di mana?” tanya Juli pada suatu hari. ”Sibuk benar selalu kirim bungkusan karton lewat kantor pos.”

”Saya bekerja di rumah,” jawabku.

”Kantornya di mana?” tanya Juli.

”Kantornya kecil sebesar kotak, kotak pos!”

Juli tertawa, ”Kalau masuk kantor, bapak jadi semut dulu ya!”

”Ah, bisa saja Juli,” kataku.

”Eh jangan anggap enteng, semut itu guru bagi manusia. Bergotong royong tanpa marah-marah, darah tinggi seperti….”

”Lu nyindir gue, ya!” kata ibunya,

”Oh Ibu darah tinggi?” tanyaku.

”Tidak ibu saya berdarah bangsawan tinggi dari Jawa, tetapi sekarang merendah di warung kotak ini,” kata Juli.

”Tidak apa–apa biar kotak asal uang bisa berputar meraup sedikit keuntungan. Untuk mengembangkan kotak ini menjadi gedung. Warung ini lebih besar daripada kotak pos saya. Itulah warung saya. Hasilnya sedikit, tetapi untunglah saya semut sehingga makannya sedikit saja,” kataku. ”Orang kecil seperti kita harus mulai dari kotak.”

”Kotak pos tidak bisa digusur tetapi warung ini biar ada setorannya, terancam gusur. Orang bilang usaha kaki lima akan digusur dan direlokasi, tetapi nyatanya hanya barang-barang yang diangkut dengan truk dan ditumpuk di halaman wali kota,” kata sang ibu.

Pada suatu hari ketika aku datang ke kantor pos di pagi hari, aku melihat warung Ibu Agus berantakan. Ada dua lelaki kekar mengangkat piring, panci, kuali, dandang dan sebagainya ke atas pikap. Tanya punya tanya, Ibu Agus punya utang pada bank liar. Ibu Agus hanya duduk diam dengan mata balalak, merah menyala. Darah tingginya kumat. Juli tak dapat berbuat banyak, hanya memegang tangan memantau urat nadinya yang dikuatirkan pecah. Pecah saraf mata pecah saraf otak.

Walaupun bukan urusanku tetapi terasa ada perintah dalam diri untuk bertanya, ”Berapa utangnya?”

”Cuma tiga ratus ribu kok, sampai hati orang itu. Lagi pula persetujuannya tiap hari bayar seribu. Tiba-tiba dia minta dilunasi semua karena rumahnya kebanjiran,” kata Juli. ”Mana duitnya….”

”Sebenarnya ada tetapi kemarin bayar dokter dan obat darah tinggi,” kata Ibu Agus.

Aku tidak lagi rasional. Tiba-tiba aku memanggil, ”Bang! Masukkan kembali barang-barang itu ke warung. Ini saya bayar utangnya Ibu Agus,” lalu aku mengeluarkan tiga ratus ribu dari dompet.

”Lha, tiga ratus, cuma, mana bunganya? Sudah tiga tahun uang kami terpendam di warung ini. Lima ratus dah….”

”Tidak….”

”Mengapa tidak?”

”Tidak ada uang lagi. Cuma tiga ratus.”

”Yaaa, oke, sini uangnya.”

”Ya, sini kembalikan barang -barang Ibu,” kataku.

Setelah penagih utang itu pergi, beberapa lama kemudian si Agus pulang dari sekolah. Anak yang baru duduk di kelas satu itu heran, terutama karena tidak ada makanan. Aku menyuruh dia membeli nasi bungkus untuk empat orang, lalu ikut membereskan warung agar tidak seperti kapal pecah.

Semenjak itu, Juli selalu datang ke kamar sewaanku membawa makanan, membersihkan segala yang kotor, mencuci pakaianku, dan menolongku mengepak kipas cendana, gaharu dan memotong kayu gahari menjadi tetelan. Lalu setelah rapi, dalam kardus ia menulis alamat si penerima dan si pengirim, lalu membawanya ke kantor pos. Ia juga selalu membuka kotak pos untuk mengambil surat-surat dari anakku.

Juli telah menjadi asistenku. Walau ia hanya tamatan SMP, tulisannya bagus, otaknya cerdas dalam perkara hitung-menghitung.

Setelah enam bulan datang bencana. Juli yang tidak mempunyai ayah tiba-tiba menemukan ayah dalam diriku sekaligus mencintai aku. Aku pun terapung dalam konflik. Umurku sudah lima puluh lima tahun. Juli baru dua puluh tahun. Ah, tidak, tidak kasihan Juli, tetapi Juli tetap ngotot mau menjadi istriku. Bagiku ini bukan cinta yang normal, ini gara-gara kipas cendana, kipas gaharu yang aromanya adalah uang. Kalau aku tak punya uang, maka seorang gadis tak akan mau. Ah, kipas cendana, kipas gaharu yang aromanya harum telah mengawetkan seorang lelaki tua yang telah berbau tanah. Juli tidak pantas menikah dengan mumi Fir’aun Jakarta ini! Juli memeluk aku, bergelantung di dadaku sambil berkata, ”Saya akan mengurus Bapak sampai sudah memakai tongkat. Bapak akan hidup kembali, muda kembali melalui anak kita.”

Aku jadi lemas, terpelanting ke kasur.

Tiba-tiba pintu diketuk karena tidak dikunci ia menerobos masuk. Matanya merah. Penyakit darah tingginya mungkin kumat. Tetapi, dia tampak telah bersolek dan merasa dirinya cantik akan tetapi karena bibirnya telah jadi merah karena gincu, aku merasa kedatangan harimau.

”Juli tidak pantas menjadi istrimu,” katanya. ”Aku yang pantas,” sambungnya lalu bergerak ke arah Juli dan menamparnya.

Setelah Juli berlari keluar, aku segera lari ke pintu belakang lalu masuk ke kamar mandi, bersembunyi sampai satu jam. Ketika aku kembali ke kamarku, Ibu Agus telah tiada. Syukur.

Semenjak itu aku tidak muncul di warung Ibu Agus. Nomor kotak posku aku hanguskan dan pindah ke kantor pos lain.

Kira-kira tiga bulan kemudian, Juli datang ke kamarku, duduk sambil menyorong dot botol susu ke bibir bayinya. Aku agak tertegun. Jangan-jangan akan dimulai suatu pemerasan. Jangan-jangan ia akan ke kantor polisi melaporkan bahwa bayi ini anakku, anak seorang pedagang kipas cendana.

”Saya sudah kumpul kebo dengan seorang sopir angkot,” kata Juli.

”Lalu langsung punya anak?” tanyaku.

”Tidak istrinya minggat, menyerahkan bayi ini kepadaku. Terima saja. Habis, mau ke mana lagi. Punya ibu darah tinggi. Yang penting punya suami,” kata Juli sambil menggendong bayinya.

Aku terdiam. Bola mataku basah.

Setahun kemudian ketika aku sedang mendayung sepedaku, aku melihat Ibu Agus berjalan kaki terseok-seok dengan sebuah karung yang setengah berisi. Aku berhenti, ia lupa padaku sehingga batinku terpukul. Ketika aku memeriksa karungnya, oh, hanya berisi botol akua dan koran bekas. Ibu Agus telah menjadi pemulung. Jakarta hanya memberinya sampah.

”Di mana Juli sekarang?” tanyaku.

”Juli sudah meninggal,” katanya.

”Agus di mana?” tanyaku lagi

”Di perempatan, jual akua botol,” jawabnya.

”Ibu tinggal di mana?”

”Di emperan. Banyak emperan, tinggal tidur saja.”

Aku terpukul

”Bapak siapa?”

”Saya pedagang kipas cendana.”

”Oo, mantu saya, mantu saya. Sudah, bonceng saya!”

Aku segera memboncengnya ke kamarku setelah membuang karung pemulungnya. Aku menyuruh dia mandi dan membelikan dia makanan.

Besoknya aku bawa dia ke rumah sakit jiwa kemudian memasukkannya ke sebuah panti jompo.

Depok, 10 Februari 2008

( Kipas Cendana dipublikasikan Kompas, Minggu, 30 Maret 2008)


Tidak ada komentar: