Pertama kali aku melihat namanya, serasa tiada asing di mata maupun telingaku. Gerson Poyk, entah di mana aku pernah melihat maupun mendengar namanya. Yang aku tahu, dia memang salah satu orang besar.

Pertemuanku secara langsung dengannya sesungguhnyalah baru dalam hitungan hari, meski aku bertemu dengannya sekitar satu atau dua bulan lalu. Namun, gaya bertuturnya sungguh membuatku kagum. Memang ketika pertama menikmati sajiannya itu, sulit rasaku untuk menangkap perkataannya. Perasaan yang rasanya wajar juga mengingat aku mendengar celotehannya itu di tengah hiruk-pikuk kereta api dan rasa kantuk yang menderu.Ketika sampai pada satu bagian, tanpa sadar mataku sudah mulai merem-melek. Dan aku pun tidak ingat lagi apa yang baru saja disampaikan olehnya. Ketika hendak kembali ke posisi semula, aku sudah tidak bisa konsentrasi lagi. Buyar sudah karena kelelahan. Maklumlah, kalau main ke Yogya, aku suka tidak peduli stamina. Apalagi ketika memutuskan pulang siang hari. Kalau pun dapat tempat duduk, sudah pasti akan kepanasan juga karena ada banyak orang yang berdiri di mana-mana. Dan kalau kepanasan, entah mengapa aku pun bisa mudah mengantuk pula.

Demikianlah akhirnya, aku berusaha mengenalnya lebih baik lagi malam itu. Cukup lama aku menikmati penuturannya. Aku tidak bisa berlama-lama dalam kondisi tersebut. Bukan, bukan karena aku tiada senang. Sungguh aku sangat senang mendengarkan cerita dari seorang yang bisa disebut sesepuh.

Aku jadi ingat perbincanganku dengan seorang majelis di gerejaku. Atau ketika aku berkesempatan menyita waktu pendetaku yang memang berwawasan luas itu. Meski keduanya berbeda usia, namun aku bisa melihat pengalaman hidup yang membentang luas dari tatapan keduanya.

Majelis tersebut, sama sekali tiada kukira sebelumnya, dia ternyata salah seorang yang berperan penting di sekitar istana negara. Ia berkisah bagaimana ia berkali-kali menjadi protokoler. Ia juga berkali-kali menerima tamu-tamu negara, bagaimana ia bergaul dengan mereka, dengan para gubernur, dengan para walikota, dengan pejabat-pejabat penting, para jenderal termasuk pula. Ia juga bertutur bagaimana para pejabat asing berkali-kali menawarinya untuk cuti ke Inggris, atau ke Belgia, atau ke mana, tergantung asal negara duta besar yang menawarinya. Tapi tentu saja ia tidak hendak dianggap memanfaatkan keadaan dan posisinya itu.

Atau bagaimana pendetaku berkisah tentang Kierkegaard, tentang Michel Foucoult, atau tentang Heidegger. Sambil mengepulkan asap rokoknya yang entah sudah kelima atau keenam batang itu, ia tidak segan menyodorkan berbagai buku berharga yang ia kumpulkan selagi studi di Yogyakarta. Dari sana pulalah aku berkenalan dengan Analisis Wacananya Eriyanto, termasuk Analisis Framing dan Analisis Semiotika. Sembari beberapa kali nyora, begitu kami biasa menyebut istri pendeta, menyodorkan sajian berupa kue-kue dan es setrup, yang membuatku layaknya tamu penting, pembicaraan terus berlanjut.

Meski sesekali aku merasa topik pembicaraan cenderung terlalu tinggi buatku yang masih sangat cetek ilmu ini, aku seakan tersedot oleh pesona mereka yang sudah sesepuh di bidang ilmu itu. Bagai terhipnotis, aku tidak bisa pamit dan tidak mau pamit. Meski sesekali harus megap-megap karena asap, aku bergeming, menantikan kisah-kisah dan pelajaran lain dari mereka.

Begitu pulalah ketika aku berhadapan dengan Gerson Poyk. Aku sungguh menikmati pertemuan kami. Terutama lewat gaya bertuturnya yang ternyata sangat enak itu, berbeda jauh dengan apa yang kurasakan ketika mendengarnya di kereta api yang ribut, panas, dan penuh sesak itu. Dan karena kali ini suasana jauh lebih santai, jauh lebih tenang, jauh dari hingar-bingar itu, juga jauh lebih sejuk, meski belakangan angin tambah sering menderu, yang malah mulai membawa hujan kembali ke kota kecil ini di saat semestinya musim kemarau menyapa, di tengah kondisi yang demikian itulah aku bisa menikmati kisahnya.

Sungguh aku sangat menikmati kisahnya tentang seorang guru yang kelahiran Pulau Rote itu. Ia berkisah bagaimana guru tersebut, sebelum ke Ternate sempat pula ke Singapura dan Hongkong, tanpa membayar, malah dibayar pula. Guru dalam kisahnya ini merupakan seorang pria yang sangat mencintai ibunya. Bersama ibunya pulalah ia pergi ke Ternate, mengabdikan dirinya sebagai seorang guru.

Dalam kisahnya itu, ada pula disinggung seorang bernama Ismail. Ia merupakan seorang buruh kasar pelabuhan yang ternyata juga menjadi pesuruh di sekolah tempat sang guru ini mengajar. Juga mengelola sebuah warung makan tak jauh dari sekolah. Pak Ismail ini ternyata selalu membantu guru-guru sekolah. Ia tidak segan meminjami uang atau malah membiarkan guru-guru ngebon kepadanya. Ia tahu kalau gaji guru-guru di tempat terpencil itu suka terlambat. Sehingga dengan meminjami atau memberi kas bon bagi para guru, ia merasa bisa membantu meringankan beban mereka. Mungkin karena ia pun sesungguhnya seorang buruh kasar. Kalau para penumpang dari pelabuhan tidak membawa banyak barang, ia pun tidak mendapat uang pula. Jadi, tahu sama tahulah.

Kesamaan nasiblah yang sering membuat orang saling bantu. Dulu, para pendahulu kita juga bertindak demikian. Ketika Belanda tengah berkuasa di sini, bukankah para pendahulu bangsa ini juga bersatu padu melawan penindasan? Sampai akhirnya negeri Indonesia ini bisa berdiri dan diakui di mata dunia? Meski sekarang keadaannya mungkin sebaliknya, diakui sebagai negara yang sakit sehingga perlu dirawat? Lalu, bukankah kerusuhan 1998 di daerah-daerah juga turut menyatupadukan masyarakat sekitar? Karena kuingat masa itu, papaku turut jaga malam, suatu kegiatan yang tidak pernah diadakan secara rutin sejak pertama kali aku menapakkan kaki di lingkungan tersebut. Kuingat pula, peristiwa itu membuat para penghuni kompleks kami itu jadi saling kenal, saling traktir, dan tertawa bersama.

Maka tidak mengherankan pula kalau penderitaan yang dialami seseorang bisa membuat orang lain mengerti penderitaan yang dialami sesamanya manusia. Sehingga ketika yang satu sedikit menuai sukacita, tiada segan pulalah ia membantu sesamanya yang kesulitan.

Begitulah kira-kira yang bisa kupelajari dari kisah Gerson Poyk itu. Aku masih hendak menantikan kisah lanjutan darinya tentang kehidupan guru tersebut. Kuharap aku bisa bertemu lagi dengannya dalam waktu dekat ini. Itu pun dengan catatan, aku tidak keburu tewas dibunuh keseharianku yang belakangan mulai menderu menyiksaku hingga ke alam mimpi.