Sabtu, 26 April 2008

SANG SUTRADARA

oleh Curah Bebas

Gerson Poyk mengayuh sepedanya perlahan-lahan, menyusuri jalanan naik turun kota kupang. Di sebuah tikungan, ia melihat air menggelontor di dinding tebing karang mengguyur ke selokan. Beberapa perempuan sedang mencuci pakaian, satu dua anak bertelanjang ria mandi.

Pengarang besar ini pun turun dan memarkir spedanya ditepi. Lalu, ia melucuti pakaian hingga tinggal celana pendek ‘putih tua’-nya. Dan, byur! Ia mencebur ke selokan berair bening itu.

Para perempuan tentu saja melengos dengan pipi merah, jengah. Sebagian saling berbisik sambil mencuri-curi pandang ke arah Gerson yang duduk di tengah selokan, menikmati sejuk dan segarnya air di tengah teriknya kota karang itu.

“Mereka pikir, mungkin saya ini orang gila. Mandi sembarangan saja di tepi jalan. Padahal, apa salahnya. Saat itu air demikian melimpah, padahal Kupang ini kota kering kerontang. Mengapa tak kita nikmati air itu manakala kita membutuhkannya. Dan saat itu saya memang butuh air segar. Jadi, ya mandi saja di sana,” katanya, ringan.

“Mereka tak tahu, kalau yang bertelanjang itu pengarang dan seniman besar, ya?” ujar seorang rekan seniman dan wartawan. Gerson terkekeh. Sambil bersama-sama menyesap bir dan menikmati ikan yang kami bakar di atas pasir di pesisir kota Kupang malam itu, kami tertawa membayangkan adegan yang dikisahkan Gerson.

Boleh jadi, para perempuan yang sedang mencuci kain dan memandikan anaknya di selokan itu heran. Kok, ada gaek yang nyelonong begitu saja ikutan mandi di tempat yang bukan tempat mandi.

Lelaki itu mungkin merasa masih tinggal di dusun, di mana orang biasa mandi di sungai, kolam atau pancuran. Padahal, bagi yang bersangkutan, hal itu tak ada bedanya. Mandi di tempat mana pun, tetap saja mandi. Air di belahan bumi di mana pun ya tetap air. Gitu aja kok repot.

Mungkin tempat, wilayah, atau lingkungan semacam kota di mana pun orang-orang semacam Gerson Poyk tingal, samalah maknanya dengan panggung sandiwara atau penhtas teater, dan mereka adalah bagian dari kisah penuh makna yang mengalir di dalamnya. “Ini memang teater. Teater konkret,” kata sahabat saya di Bandung, seorang sutradara yang belakangan lebih dikenal sebagai politisi dan anggota parlemen tingkat propinsi.

Seorang seniman tak akan pernah berhenti berkarya, sebagaimana pula seorang jurnalis tulen, katanya. Dan, saya lantas teringat petualangan kami menerbitkan tabloid Jumatan (bukan mingguan, heheh…) jauh sebeluym hiduk pikuk eforia reformasi. Koran mingguan, eh Jumatan itu, sempat sukses meski harus kucing-kucingan dan bergerak di bawah tanah karena penguasa masa itu demikian represif.

“Ini juga bagian dari akting memerankan realitas di dunia nyata. Macam inilah teater kontekstual,” ujar teman yang sudah menyutradarai drama Eugene Ionesco, pada usia 20 tahun ini. Lebih 10 tahun kami tak bertemu, dan malam pertengahan April lalu, ia mendadak muncul menemui saya.

“Aku sedang merancang perggelaran lagi. Kita libatkan realitas ke atas panggung teater,” ujarnya. Kita? Saya termangu berusaha mencerna gagasannya, sebab saya merasa bukan lagi bagian dari dunia itu.

Situasi macam itu pula, ketika beberapa hari kemudian, sahabat saya yang lain, seorang penata tari gopoh galah menawarkan gagasannya untuk membuat gubahan dan menyajikannya kepada publik.

“Kini, mediumnya banyak. Dulu, kita cuma punya satu TVRI, sekarang TV-TV swasta itu kekurangan sajian lokal, kecuali opera-opera sabun colek yang nggak jelas juntrungannya itu. Ayo, kita maju lagi,” katanya. Kita, lagi? Lagi-lagi saya bingung. Sebeba seperti tadi, saya sudah merasa terlalu lama lepas dari dunia kesenian itu.

“Omong kosong, bukankah selama ini kami seacara nyata mempraktekkan seni menulis, seni berkomunikasi dengan massa melalui mediamu?” ujarnya. Betul juga. Tapi saya tetap merasa sudah terlalu berjarak dengan panggung-panggung sandiwara seperti itu.

“Saya sih tetap merasa perlu, sesekali –kalaupun tak selamanya– menggarap pementasan-pementasan lagi,” kata rekan yang kini jadi penhgelola radio swasta itu.

Ya. Rupanya suatu saat seorang pekarya teater seperti teman saya itu rindu juga pulang kampung ke panggungnya yang sempit dengan set dan penonton yang begitu-begitu juga. Sebab itulah salah satu cara untuk tetap menggeletarkan rutinitas hidup dengan nilai-nilai seni yang cuma bisa diserap oleh selsel batini. “Teater harus tetap berkibar,” ujar Adjim Arijadi, seniman besar Banjarmasin, suatu saat.

Karena itulah, “Ken Arok” ini tetap pada komitmennya di dunia kesenian, meski –semua orang pasti mengakui– hal itu sulit dilakukan pada tataran masyarakat yang kian hari makin lelap terbius kenikmatan hiburan yang makin mudah diperoleh berkat merajalelanya kapitalisasi di berbagai bidang dan sektor kehidupan.

Adjim, seperti juga para seniman lain, tentu sangat merasakan pahit getirnya jatuh bangun berolahkarya dan menyodorkannya kepada publik macam ini.
Toh ia tetap pada komitmennya berkesenian, meski kadang pontang-panting walau sekadar untuk membuka sanggar.

Tanpa sanggar pun, kata Adjim, tak jadi soal. Yang penting, teater dan dunia kesenian harus tetap berkoibar selamanya. Nilainilai kesenian harus bisa menjalrai denyut kehidupan masyarakat yang kian hari makin tak rasional seperti saat ini.

Komitmen macam ini pula yang saya tangkap dari tokoh macam Andrzej Wajda. Sineas gaek dari Polandia ini masih terus berkarya meski usianya sudah lewat 70 tahun. Eenergi berkeseniannya tetap dia ekspresikan lewat karya-karyanya yang sebagian besar jadi bahasan para ahli.

“Film-film saya merupakan film-film Polandia terpenting, yang dibuat oleh seorang Polandia untuk orang-orang Polandia,” kata Wajda pada suatu ketika.

Tapi, semua orang tahu, Polandia cumalah setting mikro, sebab film-filmnya bicara tentang nilai-nilai manusiawi manusia yang tentu tidak hanya menyangkut orang Polandia. Pan Tadeusz, misalnya. Film ceritanya yang ke-54 dan merupakan saduran sangat luas atas syair kepahlawanan dari penyair Polandia Adam Mickiewicz, toh berhasil mengalahkan Titanic dalam penjualan tiket masuk bioskop di negara itu.

Pencinta film melihat film-film Wajda bernilai universal dan bisa merupakan studi mendalam mengenai nasionalisme dan ideologi, sekaligus gambaran tentang romantisme masa kanak-kanak yang –tentu– sah-sah saja di mana pun.

Ini pun kita lihat pada tokoh macam Teguh Karya, Eros Djarot, dan Garin Nugroho. Nilai-nilai universal yang mencuat pada karya mereka, membuat karya itu tetap hidup di segala zaman dan berlaku bagi segenap umat manusia.

Kita yakin, apa yang mereka sodorkan, sedikit banyak, pasti ada pengaruhnya pada perkembangan kehidupan masyarakat kita. Kelembutan, keindahan, cinta-kasih, dan komitmen pada hati nurani yang dialirkan lewat nilai-nilai seni, sangat mungkin ikut memberi warna pada kehidupan. Sebab kehidupan itu sendiri adalah teater nyata hasil karya Sang Maha Sutradara Agung.

Bahwa kemudian wajah masyarakat kita masih terlihat belepotan dengan lumpur kekerasan, kekasaran, ketakadilan, kemunafikan, dan kemiskinan cintakasih, dan lain sebagainya, itulah yang mungkin memang dikehendaki Sang Maha Sutradara Agung.

Maksudnya agar kita tak lantas berpongah diri, sebab ternyata menyutradarai diri sendiri saja belum bisa, sudah sok mau mengatur laku-lampah orang lain. Jadinya, ya kacau balau terus. Baku hantam terus. Rusuh terus. Begitulah. ***

Tidak ada komentar: